Popularitas daulah Abbasyiyah mencapai puncaknya di zaman khalifah Harun Al-Rasyid (786-809 M) dan puteranya Al-Ma'mum (813-833 M). Harun Al-Rasyid adalah figur khalifah shaleh ahli ibadah, senang bershadaqah, sangat mencintai ilmu sekaligus mencintai para 'ulama,
senang dikritik serta sangat merindukan nasihat terutama dari para
'ulama. Pada masa pemerintahannya dilakukan sebuah gerakan penerjemahan
berbagai buku Yunani dengan menggaji para penerjemah dari golongan
Kristen dan penganut agama lainnya yang ahli. Ia juga banyak mendirikan
sekolah, yang salah satu karya besarnya adalah pembangunan Baitul
Hikmah, sebagai pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan
tinggi dengan perpustakaan yang besar. Perpustakaan pada masa itu lebih
merupakan sebuah universitas, karena di samping terdapat kitab-kitab,
di sana orang juga dapat membaca, menulis dan berdiskusi.
Harun
Al-Rasyid juga menggunakan kekayaan yang banyak untuk dimanfaatkan
bagi keperluan sosial. Rumah sakit, lembaga pendidikan dokter, dan
farmasi didirikan. Pada masanya sudah terdapat paling tidak sekitar 800
orang dokter. Disamping itu, pemandian-pemandian umum juga dibangun.
Kesejahteraan, sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan
kebudayaan serta kesusasteraan berada pada zaman keemasannya. Pada masa
inilah negara Islam menempatkan dirinya sebagai negara terkuat yang
tak tertandingi.
C. Periodesasi Masa Abbasiyah
Masa Daulah Abbasiyah adalah masa keemasan Islam, atau sering disebut dengan istilah ''The Golden Age''.
Pada masa itu Umat Islam telah mencapai puncak kemuliaan, baik dalam
bidang ekonomi, peradaban dan kekuasaan. Selain itu juga telah
berkembang berbagai cabang ilmu pengetahuan, ditambah lagi dengan
banyaknya penerjemahan buku-buku dari bahasa asing ke bahasa Arab.
Fenomena ini kemudian yang melahirkan cendikiawan-cendikiawan besar
yang menghasilkan berbagai inovasi baru di berbagai disiplin ilmu
pengetahuan.
Daulah
Abbasiyah didirikan oleh keturunan Abbas paman Rasulullah, yaitu :
Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah al-Abbas. Kekuasaan daulah abbasiyah dibagi dalam lima periode, yaitu:
1. Periode I (132 H/750 M-232 H/847 M ), masa pengaruh Persia pertama
2. Periode II (232 H/847 M-334 H/945 M), masa pengaruh Turki pertama
3. Periode Iii (334 H/945 M-447 h/1055 M), masa kekuasaan Dinasti Buwaihi, pengaruh Persia kedua
4. Periode IV (447 H/1055 M-590 h/1194 M), masa Bani Saljuk, pengaruh Turki kedua
5. Periode V (590 H/1104 M-656 h/1250 M), masa kebebasan dari pengaruh Dinasti lain.
Daulah
Abbasiyah mencapai puncak keemasan dan kejayaannya pada periode I.
Para khalifah pada masa periode I dikenal sebagai tokoh yang kuat, pusat
kekuasaan politik, dan agama sekaligus. Popularitas Daulah Abbasiyah
mencapai puncaknya pada masa khalifah Harun Al-Rasyid (786-809 M) dan
putranya Al-Ma'mun (813-833 M). Kekayaan yang dimiliki khalifah harun
al-rasyid dan puteranya Al-Ma'mun digunakan untuk kepentingan sosial
seperti, lembaga pendidikan, kesehatan, rumah sakit, pendidikan ilmu
pengetahuan, dan kebudayaan serta kesusastraan berada pada zaman
keemasan. Al-Ma'mun khalifah yang cinta kepada ilmu, dan banyak
mendirikan sekolah.
Tidak
hanya mencakup kepentingan sosial saja, masa ini juga masa kejayaan
umat islam sebagai pusat dunia dalam berbagai aspek peradaban. Kemajuan
itu hampir mencakup semua aspek kehidupan, seperti :
a. Administratif pemerintahan dengan biro-bironya;
b. Sistem organisasi militer;
c. Administrasi wilayah pemerintahan;
d. Pertanian, perdagangan, dan industri;
e. Islamisasi pemerintahan;
f. Kajian
dalam bidang kedokteran, astronomi, matematika, geografi,
historiografi, filsafat islam, teologi, hukum (fiqh), dan etika islam,
sastra, seni, dan penerjemahan;
g. Pendidikan,
kesenian, arsitektur, meliputi pendidikan dasar (kuttab), menengah,
dan perguruan tinggi; perpustakaan dan toko buku, media tulis, seni
rupa, seni musik, dan arsitek.
D. Tujuan Pendidikan Pada Masa Abbasiyah
Pada
masa Nabi masa khoilfah rasyidin dan umayah, tujuan pendidikan satu
saja, yaitu keagamaan semata. Mengajar dan belajar karena Allah dan
mengharap keridhoan-Nya. Namun pada masa abbasiyah tujuan pendidikan
itu telah bermacam-macam karena pengaruh masyarakat pada masa itu.
Tujuan itu dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Tujuan Keagamaan Dan Akhlak
Sebagaiman
pada masa sebelumnya, anak-anak dididik dan diajar membaca atau
menghafal Al-Qur'an, ini merupakan suatu kewajiban dalam agama, supaya
mereka mengikut ajaran agama dan berakhlak menurut agama.
2. Tujuan Kemasyarakatan
Para
pemuda pada masa itu belajar dan menuntut ilmu supaya mereka dapat
mengubah dan memperbaiki masyarakat, dari masyarakat yang penuh dengan
kejahilan menjadi masyarakat yang bersinar ilmu pengetahuan, dari
masyarakat yang mundur menuju masyarakat yang maju dan makmur. Untuk
mencapai tujuan tersebut maka ilmu-ilmu yang diajarkan di Madrasah
bukan saja ilmu agama dan Bahasa Arab, bahkan juga diajarkan ilmu
duniawi yang berfaedah untuk kemajuan masyarakat.
3. Cinta Akan Ilmu Pengetahuan
Masyarakat
pada saat itu belajar tidak mengaharapkan apa-apa selain dari pada
memperdalam ilmu pengetahuan. Mereka merantau ke seluruh negeri islam
untuk menuntut ilmu tanpa memperdulikan susah payah dalam perjalanan
yang umumnya dilakukan dengan berjalan kaki atau mengendarai keledai.
Tujuan mereka tidak lain untuk memuaskan jiwanya untuk menuntut ilmu.
4. Tujuan Kebendaan
Pada
masa itu mereka menuntut ilmu supaya mendapatkan penghidupan yang
layak dan pangkat yang tinggi, bahkan kalau memungkinkan mendapat
kemegahan dan kekuasaan di dunia ini, sebagaimana tujuan sebagian orang
pada masa sekarang ini.
E. Tokoh-Tokoh Pendidikan Islam Yang Berpengaruh Pada Masa Bani Abbasyiyah
Sejalan
dengan perkembangan lembaga pendidikan, ilmu pengetahuan dan tradisi
serta atmosfer akademik., maka pada zaman Abbasiyah ini di tandai pula
dengan lahirnya para ilmuwan yang sekaligus bertindak sebagai para guru.
Mereka bukan hanya ahli dalam ilmu agam Islam melainkan juga ahli
dalam bidang ilmu pengetahuan umum, seni dan arsitektur. Di antara para
ilmuwan dan guru yang terkenal di zaman Abbasiyah adalah:
1. Al-Razi (guru Ibnu Sina)
Ia
berkarya dibidang kimia dan kedokteran, menghasilkan 224 judul buku,
140 buku tentang pengobatan, diterjemahkan ke dalam Bahasa Latin.
Bukunya yang paling masyhur adalah Al-Hawi Fi 'Ilm At Tadawi (30 jilid,
berisi tentang jenis-jenis penyakit dan upaya penyembuhannya).
Buku-bukunya menjadi bahan rujukan serta panduan dokter di seluruh
Eropa hingga abad 17. Al-Razi adalah tokoh pertama yang membedakan
antara penyakit cacar dengan measles. Dia juga orang pertama yang
menyusun buku mengenai kedokteran anak. Sesudahnya, ilmu kedokteraan
berada di tangan Ibnu Sina.
2. Al-Battani (Al-Batenius)
Seorang
astronom. Hasil perhitungannya tentang bumi mengelilingi pusat tata
surya dalam waktu 365 hari, 5 jam, 46 menit, 24 detik, mendekati akurat.
Buku yang paling terkenal adalah Kitab Al Zij dalam bahasa latin: De
Scienta Stellerum u De Numeris Stellerumet Motibus, dimana terjemahan tertua dari karyanya masih ada di Vatikan.
3. Al Ya'qubi
Seorang
ahli geografi, sejarawan dan pengembara. Buku tertua dalam sejarah
ilmu geografi berjudul Al Buldan (891), yang diterbitkan kembali oleh
Belanda dengan judul Ibn Waddih qui dicitur al-Ya'qubi historiae.
4. Al Buzjani (Abul Wafa)
Ia mengembangkan beberapa teori penting di bidang matematika (geometri dan trigonometri).
5. Ibn Sina
Ibn Sina adalah seorang mahaguru dalam bidang ilmu kedokteran dan filsafat. Dengan karya-karyanya seperti al-Qanun fi al-Thibb (Ensiklopedi Kedokteran) sebanyak tiga jilid, al-Syifa dan Al-Najah.
6. Ibn Miskawih
Ibn Miskawih adalah seorang guru dalam ilmu akhlak. Salah satu karyanya adalah Tahdzib al-Tahdzib.
7. Ibn Jama'ah
Ibn Jama'ah adalah seoarang guru dalam bidang ilmu fikih dan akhlak, Tadzkirat al-Sa'mi lil 'Alim wa al-Muta'allim.
8. Imam al-Juwaini
Imam
al-Juwaini adalah seorang guru dalam bidamg teologi pada Madrasah
Nidzamiyah tempat Imam al-Ghazali menimba ilmu, karyanya berjudul al-Irsyad.
9. Imam al-Ghazali
Imam
al Ghazali tel;ah tampil sebagai mahaguru di Madrasah Nidzamiah,
istana, dan di masyarakat pada umumnya. Melalui karyanya yaitu Ihya' Ulum al-Din sebanyak tiga jilid, ia telah tampil sebagai guru dalam bidang fikih dan tasawuf.
Pencapaian
kemajuan dunia Islam pada bidang ilmu pengetahuan tidak terlepas dari
adanya sikap terbuka dari pemerintahan Islam pada saat itu terhadap
berbagai budaya dari bangsa-bangsa sebelumnya seperti Yunani, Persia,
India dan yang lainnya. Gerakan penterjemahan yang dilakukan sejak
Khalifah Al-Mansur (745-775 M) hingga Harun Al-Rasyid berimplikasi
terhadap perkembangan ilmu pengetahuan umum, terutama di bidang
astronomi, kedokteran, filsafat, kimia, farmasi, biologi, fisika dan
sejarah.
Dari hasil ijtihad dan semangat riset, maka para ahli pengetahuan, para alim ulama, berhasil menemukan berbagai keahlian berupa penemuan berbagai bidang-bidang ilmu pengetahuan, antara lain :
a) Ilmu Umum
1. Ilmu Filsafat
a. Al-Kindi (809-873 M) buku karangannya sebanyak 236 judul.
b. Al Farabi (wafat tahun 916 M) dalam usia 80 tahun.
c. Ibnu Bajah (wafat tahun 523 H)
d. Ibnu Thufail (wafat tahun 581 H)
e. Ibnu Shina (980-1037 M). Karangan-karangan yang terkenal antara lain: Shafa, Najat, Qoman, Saddiya dan lain-lain
f. Al
Ghazali (1085-1101 M). Dikenal sebagai Hujjatul Islam, karangannya: Al
Munqizh Minadl-Dlalal,Tahafutul Falasifah, Mizanul Amal, Ihya
Ulumuddin dan lain-lain
g. Ibnu Rusd (1126-1198 M). Karangannya : Kulliyaat, Tafsir Urjuza, Kasful Afillah dan lain-lain
2. Bidang Kedokteran
a. Jabir bin Hayyan (wafat 778 M). Dikenal sebagai bapak Kimia.
b. Hurain bin Ishaq (810-878 M). Ahli mata yang terkenal disamping sebagai
penterjemah bahasa asing.
penterjemah bahasa asing.
c. Thabib bin Qurra (836-901 M)
d. Ar Razi atau Razes (809-873 M). Karangan yang terkenal mengenai cacar dan campak yang diterjemahkan dalam bahasa latin.
3. Bidang Matematika
a. Umar Al Farukhan: Insinyur Arsitek Pembangunan kota Baghdad.
b. Al Khawarizmi: Pengarang kitab Al Gebra (Al Jabar), penemu angka (0).
4. Bidang Astronomi
Berkembang subur di kalangan umat Islam, sehingga banyak para ahli yang terkenal dalam perbintangan ini seperti :
a. Al Farazi : pencipta Astro lobe
b. Al Gattani/Al Betagnius
c. Abul wafat : menemukan jalan ketiga dari bulan
d. Al Farghoni atau Al Fragenius
5. Bidang Seni Ukir
Beberapa
seniman ukir terkenal: Badr dan Tariff (961-976 M) dan ada seni musik,
seni tari, seni pahat, seni sulam, seni lukis dan seni bangunan.
b) Ilmu Naqli
1. Ilmu Tafsir,
Para mufassirin yang termasyur: Ibnu Jarir ath Tabary, Ibnu Athiyah al
Andalusy (wafat 147 H), As Suda, Mupatil bin Sulaiman (wafat 150 H),
Muhammad bin Ishak dan lain-lain
2. Ilmu Hadist,
Muncullah ahli-ahli hadist ternama seperti: Imam Bukhori (194-256 H),
Imam Muslim (wafat 231 H), Ibnu Majah (wafat 273 H),Abu Daud (wafat 275
H), At Tarmidzi, dan lain-lain
3. Ilmu Kalam,
Dalam kenyataannya kaum Mu'tazilah berjasa besar dalam menciptakan
ilmu kalam, diantaranya para pelopor itu adalah: Wasil bin Atha', Abu
Huzail al Allaf, Adh Dhaam, Abu Hasan Asy'ary, Hujjatul Islam Imam
Ghazali
4. Ilmu Tasawuf,
Ahli-ahli dan ulama-ulamanya adalah : Al Qusyairy (wafat 465 H)
karangannya: ar Risalatul Qusyairiyah, Syahabuddin (wafat 632 H)
karangannya: Awariful Ma'arif, Imam Ghazali : karangannya al Bashut, al
Wajiz dan lain-lain.
5. Para Imam Fuqaha, Lahirlah para Fuqaha yang sampai sekarang aliran mereka masih mendapat tempat yang luas dalam masyarakat Islam. Yang mengembangkan faham/mazhabnya dalam zaman ini adalah: Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi'i, Imam Ahmad bin Hambal dan Para Imam Syi'ah (Hasjmy, 1995:276-278).
F. Tingkat-Tingkat Pengajaran
Pada masa Abbasiyah sekolah-sekolah terdiri dari beberapa tingkat, yaitu:
1. Tingkat
sekolah rendah, namanya Kuttab sebagai tempat belajar bagi anak-anak.
Di samping Kuttab ada pula anak-anak belajar di rumah, di istana, di
took-toko dan di pinggir-pinggir pasar. Adapun pelajaran yang diajarkan
meliputi: membaca Al-Qur'an dan menghafalnya, pokok-pokok ajaran
islam, menulis, kisah orang-orang besar islam, membaca dan menghafal
syair-syair atau prosa, berhitung, dam juga pokok-pokok nahwu shorof
ala kadarnya.
2. Tingkat
sekolah menengah, yaitu di masjid dan majelis sastra dan ilmu
pengetahuan sebagai sambungan pelajaran di kuttab. Adapun pelajaran
yang diajarkan melipuri: Al-Qur'an, bahasa Arab, Fiqih, Tafsir, Hadits,
Nahwu, Shorof, Balaghoh, ilmu pasti, Mantiq, Falak, Sejarah, ilmu
alam, kedokteran, dan juga musik.
3. Tingkat
perguruan tinggi, seperti Baitul Hikmah di Bagdad dan Darul Ilmu di
Mesir (Kairo), di masjid dan lain-lain. Pada tingkatan ini umumnya
perguruan tinggi terdiri dari dua jurusan:
a. Jurusan
ilmu-ilmu agama dan Bahasa Arab serta kesastraannya. Ibnu Khaldun
menamainya ilmu itu dengan Ilmu Naqliyah. Ilmu yang diajarkan pada
jurusan ini meliputi: Tafsir Al-Qur'an, Hadits, Fiqih, Nahwu, Sharaf,
Balaghoh, dan juga Bahasa Arab.
b. Jurusan
ilmu-ilmu hikmah (filsafat), Ibnu Khaldun menamainya dengan Ilmu
Aqliyah. Ilmu yang diajarkan pada jurusan ini meliputi: Mantiq, ilmu
alam dan kimia, Musik, ilmu-ilmu pasti, ilmu ukur, Falak, Ilahiyah
(ketuhanan), ilmu hewan, dan juga kedokteran.
G. Lembaga-Lembaga Pendidikan
Sebagaimana banyak dicatat dalam berbagai sumber sejarah, bahwa zaman dinasti Abbasiyah adalah zaman keemasan Islam (golden age) yang
ditandai oleh kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan
peradaban yang mengagumkan, yang dapat dibuktikan keberadaannya, baik
melalui berbagai sumber informasi dalam buku-buku sejarah maupun
melalui pengamatan empiris di berbagai wilayah di belahan dunia yang
pernah dikuasai Islam, seperti Irak, Spanyol, Mesir dan sebagian dari
Afrika Utara.
Berbagai
kemajuan yang dicapai dunia Islam tersebut tidak mungkin terjadi tanpa
didukung oleh kemajuan dalam bidang pendidikan, karena pendidikanlah
yang menyiapkan sumber daya insane yang menggerakkan kemajuan tersebut.
adapun gambaran keadaan pendidikan di zaman Bani Abbasiyah sebagai
berikut.
1. Keadaan Lembaga Pendidikan
Selain
masjid, kuttab,al-badiah, istana, perpustakaan dan al-bimaristan, pada
zaman Dinasti Abbasiyah ini telah berkembang pula lembaga pendidikan,
berupa toko buku, rumah para ulama, majelis al-ilmu, sanggar
kesusastraan, observatorium, dan madrasah.
a. Toko Buku (al-Hawanit al-Warraqien)
Kemajuan
dalam ilmu pengetahuan tersebut mendorong lahirnya indistri perbukuan,
dan industry perbukuan mendorong lahirnya took-toko buku. Di beberapa
kota atau negara yang di dalamnya terdapat took-toko buku,
menggambarkan bahwa kota atau negara tersebut telah mengalami kemajuan
dalam bidang ilmu pengetahuan.
b. Rumah-rumah Para Ulama (Manazil al-Ulama)
Di
antara rumah yang sering digunakan untuk kegiatan ilmiah adalah rumah
al-Rais Ibn Sina. Dalam hubungan ini al-Jauzajani berkata kepada
sahabatnya, bahwa pada setiap malam ia berkumpul di rumah Ibn Sina
untuk menimba ilmu, dan membaca kitab al-Syifa' dan sebagian lain ada
yang membaca kitab al-Qanun. Abu Sulaiman al-Sijistani juga menggunakan
rumahnya untuk kegiatan orang-orang yang mau menimba ilmu, dan mia
menggunakan rumahnya untuk para ulama senior untuk memvalidasi
bacaan-bacaannya.
Selanjutnya
rumah yang sering digunakan sebagai majelis ilmu yang didatangi para
pelajar dan para guru untuk mematangkan ilmunya adalah rumah Imam
al-Ghazali (504 H) yang menerima para siswa di rumahnya, setelah ia
berhenti sebagai guru di Madrasah al-Nidzamiyah di Nisafur, serta
menuntaskan pejalanan spiritualnya, yaitu mengerjakan ibadah haji,
beriktikaf di masjid al-Amawiy di Damaskus serta menulis kitabnya yang
terkenal Ihya' Ulum al-Din. Demikian pula rumah Ya'kub bin Kalas
wazir al-Aziz billah al-Fathimy, rumah al-Sulfiy Ahmad bin Muhammad
Abu Thahir di Iskandariyah digunakan sebagai tempat untuk kegiatan
ilmiah.
c. Sanggar Sastra (al-Sholun al-Adabiyah)
Sanggar
sastra ini mulai tumbuh sederhana pada masa Bani Umayyah kemudian
berkembang pesat pada zaman Abbasiyah, dan merupakan perkembangan lebih
lanjut dari perkumpulan yang ada pada zaman Khulafa' al-Rasyidin. Di
sanggar sastra ini terdapat ketentuan kode etik yang khusus. Dalam
hubungan ini Ibn Abd Rabbih, al-Muqri dan al-Maqrizi berkata berkata,
bahwa sanggar sastra tidak bisa menerima setiap orang yang
menginginkannya, melainkan sanggar tersebut hanya dibolehkan untuk
kelompok orang tertentu.
d. Madrasah
Dalam
sejarah, madrasah ini mulai muncul di zaman khalifah Bani Abbas,
sebagai kelanjutan dari pendidikan yang dilaksanakan di masjid dan
tempat lainnya. Dalam kaitan ini, Ahmad Tsalabi berpendapat, bahwa
ketika minat masyarakat untuk mempelajari ilmu di Halaqah yang ada di
masjid makin menibgkat dari tahun ke tahun, dsan menimbulkan kegaduhan
akibat dari suara para pengajar dan siswa yang berdiskusi dan lainnya
yang mengganggu kekhusukan shalat. Selain itu, berdirinya madrasah ini
juga karena ilmu pengetahuan dan berbagai keterampilan semakin
berkembang, dan untuk mengajarkannya diperlukan guru yamg banyak,
peralatan belajar mengajar yang lebih lengkap, serta pengaturan
administrasi yang lebih tertib. Selain itu, madrasah juga didirikan
dengan tujuan untuk memasyarakatkan ajaran atau paham keagamaan dan
ideology tertentu.
e. Perpustakaan dan Observatorium
Tempat-tempat
ini juga digunakan sebagai tempat belajar mengajar dalam arti luas,
yaitu belajar bukan dalam arti menerima ilmu dari guru sebagaimana yang
umumnya dipahami, melainkan kegiatan belajar yang bertumpu pada
aktivitas siswa (student centris), seperti belajar dengan cara memecahkan masalah, eksperime, belajar sambil bekerja (learning be doing), dan penemuan (inquiri). Kegiatan belajar yang demikian itu dilakukan bukan hanya di kelas, melainkan di lembaga-lembaga pusat kajian ilmiah.
f. Al-Ribath
Secara harfiah al-ribath
berarti ikatan yang mudah di buka. Sedangkan dalam arti yang umum, al
ribath adalah tempat untuk melakukan latihan, bimbingan, dan pengajran
bagi calon sufi. Di dalam al-ribath tersebut terdapat beberapa
ketentuan atau komponen yang terkait dengan pendidikan tasawuf,
misalnya komponen guru yang terdiri dari syekh (guru besar), mursyid (guru utama), mu'id (asisten guru), dan mufid (fasilitator). Murid pada al-ribath
dibagi sesuai dengan tingkatannya, mulai dari ibtidaiyah, tsanawiyah
dan aliyah. Adapun bagi yang lulus diberikan pengakuan berupa ijazah.
H. Metode Pendidikan Pada Masa Abbasiyah
Dalam
proses belajar mengajar, metode pendidikan/pengajaran merupakan salah
satu aspek pendidikan/pengajaran yang sangat penting guna mentransfer
pengetahuan atau kebudayaan dari seorang guru kepada para muridnya.
Melalui metode pengajaran terjadi proses internalisasi dan pemilikan
pengetahuan oleh murid hingga murid dapat menyerap dan memahami dengan
baik apa yang telah disampaikan gurunya.
Pada
masa Dinasti abbasiyah metode pendidikan/pengajaran yang digunakan
dapat dikelompokkan menjadi tiga macam: lisan, hafalan, dan tulisan.
1. Metode Lisan
Metode lisan berupa dikte, ceramah, qira'ah dan diskusi. Metode dikte (imla') adalah metode penyampaian pengetahuan yang dianggap baik dan aman karena dengan imla'
ini murid mempunyai catatan yang akan dapat membantunya ketika ia
lupa. Metode ini dianggap penting, karena pada masa klasik buku-buku
cetak seperti masa sekarang sulit dimiliki.
2. Metode ceramah
Metode ceramah disebut juga metode as-sama', sebab dalam metode ceramah, guru menjelaskan isi buku dengan hafalan, sedangkan murid mendengarkannya.Metode qiro'ah biasanya digunakan untuk belajar membaca sedangkan diskusi merupakan metode yang khas pada masa ini.
3. Metode Menghafal
Metode
menghafal Merupakan ciri umum pendidikan pada masa ini.Murid-murid
harus membaca secara berulang-ulang pelajarannya sehingga pelajaran
tersebut melekat pada benak mereka, sebagaimana yang dijelaskan oleh
Imam Hanafi, seorang murid harus membaca suatu pelajaran berulang kali
sampai dia menghafalnya. Sehingga dalam proses selanjutnya murid akan
mengeluarkan kembali dan mengkonstektualisasikan pelajaran yang
dihafalnya sehingga dalam diskusi dan perdebatan murid dapat merespons,
mematahkan lawan, atau memunculkan sesuatu yang baru.
4. Metode Tulisan
Metode
tulisan dianggap metode yang paling penting pada masa ini.Metode
tulisan adalah pengkopian karya-karya ulama. Dalam pengkajian buku-buku
terjadi proses intelektualisasi hingga tingkat penguasaan ilmu murid
semakin meningkat. Metode ini disamping berguna bagi proses penguasaan
ilmu pengetahuan juga sangat penting artinya bagi penggandaan jumlah
buku teks, karena pada masa ini belum ada mesin cetak, dengan
pengkopian buku-buku kebutuhan terhadap teks buku sedikit teratasi.
I. Materi Pendidikan Pada Masa Abbasiyah
Materi
pendidikan dasar pada masa daulat Abbasiyah terlihat ada unsur
demokrasinya, disamping materi pelajaran yang bersifat wajib (ijbari)
bagi setiap murid juga ada materi yang bersifat pillihan (ikhtiari).Hal
ini tampaknya sangat berbeda dengan materi pendidikan dasar pada masa
sekarang.Di saat sekarang ini materi pendidikan tingkat dasar dan
menengah semuanya adalah materi wajib, tidak ada materi pilihan.Materi
pilihan baru ada pada tingkat perguruan tinggi.
Menurut Mahmud Yunus dalam bukunya "Sejarah Pendidikan Islam", yang dikutip oleh Suwito menjelaskan tentang materi pelajaran yang bersifat wajib (ijbari) yakni,
Al-Qur'an, Shalat, Do'a, Sedikit ilmu nahwu dan bahasa arab (maksudnya
yang dipelajari baru pokok-pokok dari ilmu nahwu dan bahasa arab belum
secara tuntas dan detail), Membaca dan menulis
Sedangkan materi pelajaran ikhtiari
(pilihan) ialah; Berhitung; Semua ilmu nahwu dan bahasa arab
(maksudnya nahwu yang berhubungan dengan ilmu nahwu dipelajari secara
tuntans dan detail); Syair-syair; Riwayat/ Tarikh Arab.
J. KURIKULUM
Kurikulum
pendidikan pada zaman Bani Abbasiyah dari segi muatannya telah
mengalami perkembangan, sebagai akibat dari perkembangan ilmu
pengetahuan dan kebudayaan. Namun dari segi susunan atau konsepnya
belum seperti yang dijumpai di masa sekarang. Kurikulum pada masa itu
lebih merupakan susunan mata pelajaran yang harus diajarkan pada
peserta didik sesuai dengan sifat dan tingkatannya. Kurikulum
pendidikan ini misalnya terlihat dalam pembagian ilmu yang dikemukakan
para tokoh sebagai berikut.
1. Kurikulum Menurut Al-Ghazali
Ia
membagi ilmu dalam tiga pendekatan. Pertama, pembagian ilmu dari segi
sumbernya. Kedua, pembagian ilmu dilihat dari segi jauh dekatnya dengan
Tuhan. Dan yang ketiga, pembagian ilmu dari segi hukumnya.
Menurut
al-Ghazali, bahwa dilihat dari segi sumbernya, ada ilmu yang bersumber
dari syariat (Al-Qur'an dan Al-Hadis), dan ilmu yang sumbernya bukan
dari syariat. Selanjutnya dilihat dari segi obyeknya:
a. ada
ilmu pengetahuan yang tercela secara mutlak , baik sedikit maupun
banyak, seperti sihir, azimat, nujum dan ilmu tentang ramalan nasib.
Ilmu ini tercela, karena tidak memiliki sifat manfaat, baik di dunia
maupun di akhirat.
b. ilmu pengetahuan yang terpuji, baik sedikit maupun banyak. Seperti ilmu agama dan ilmu tentang peribadatan.
c. ilmu pengetahuan yang dalam kadar tertentu, terpuji, tetapi jika mendalaminya tercela, seperti filsafat naturalisme.
Selanjutnya dilihat dari segi hukum mempelajarinya dalam kaitannya dengan nilai gunanya, ilmu pengetahuan dapat digolongkan:
a. ilmu fardhu 'ain yang wajib dipelajari setiap individu, seperti ilmu agama dan cabang-cabangnya.
b. ilmu
fardhu kifayah, ilmu ini tidak wajib dipelajari oleh setiap muslim,
melainkan cukup jika di antara kaum muslimin ada yang mempelajarinya.
Dan jika seorang pun di antara kaum muslim tidak ada yang
mempelajarinya, maka mereka akan berdosa. Di antara yang tergolong
fardhu kifayah adalah ilmu kedokteran, ilmu hitung, pertanian,
pertenunan, politik, pengobatan tradisional dan jahit menjahit.
2. Kurikulum Menurut Ibn Khaldun
Ibn
Khaldun menyusun kurikulum sesuai dengan akal dan kejiwaan peserta
dididk, dengan tujuan agar pesrta didik menyukainya dan
bersungguh-sungguh mempelajarinya. Ibn Khaldun membagi ilmu menjadi 3
macam.
a) Kelompok ilmu lisan (bahasa), ilmu tentang bahasa (gramatika), sastra dan bahasa yang tersusun secara puitis (syair).
b) Kelompok ilmu naqli, yaitu ilmu yang di ambil dari kitab suci dan sunnah Nabi.
c) Kelompok ilmu aqli, yaitu ilmu yang diperoleh melalui kemampuan berfikir. Proses perolehan tersebut dilakukan melalui pancaindra dan akal.
K. TRADISI ILMIAH DAN ATMOSFER AKADEMIK
Tradisi
ilmiah dapat diartikan sebagai kebiasaan yang berkaitan dengan
pengembangan ilmu yang sudah memasyarakat dan digunakan secara merata di
kalangan ilmuwan. Tradisi ilmiah ini selanjutnya membentuk sebuah
keadaan yang khas yang selanjutnya disebut atmosfer akademik.
Di antara tradisi ilmiah dan atmosfer akademik yang terjadi pada zaman Abbasiyah dan masa sebelumnya adalah sebagai berikut.
1. Tukar Menukar Informasi ( Muzakarah )
Tradisi
ini dilakukan oleh para pelajar dari berbagai daerah untuk saling
bertukar pikiran, pemahaman dan pengamalan sesuatu ajaran.
2. Berdebat
Tradisi
ini dilakukan oleh para pelajar dan pakar dalam bidang tertentu untuk
saling menguji kedalaman ilmu, ketajaman analisis, dan kekuatan
argumentasi yang dimiliki masing-masing ulama. Tradisi ini memiliki
pengaruh yang kuat kepada para ilmuwan untuk meningkatkan kualitas dan
kuantitas keilmuannya masing-masing.
3. Rihlah Ilmiah
Rihlah
ilmiah berarti melakukan perjalanan atau pengembaraan dari suatu
daerah ke daerah lain dalam rangka menuntut ilmu atau melakukan
penelitian terhadap sesuatu masalah. Tradisi ini terjadi seiring dengan
semakin luasnya wilayah kekuasaan Islam dan tersebarnya para ilmuwan
pada berbagai wilayah tersebut.
4. Penerjemahan
Tradisi
penerjemahan ini terjadi karena didorong oleh keingintahuan dan
keperluan para ilmuwan dalam menjelaskan tentang sesuatu masalah.
Khalifah Bani Abbasiyah bernama Al-Makmun sangat memberikan perhatian
terhadap kegiatan penerjemahan. Ia mendirikan Bait al-Hikmah
(rumah kegiatan ilmu ) untuk melakukan kegiatan penerjemahan
karya-karya Yunani, India, dan Cina dan menyewa penerjemah asing,
seperti, Hunain Ibn Ishak.
5. Mengoleksi Buku dan Mendirikan Perpustakaan
Tradisi
mengoleksi buku ini tumbuh sejalan dengan adanya tradisi penghormatan
yang tinggi kepada para ilmuwan serta tradisi penghormatan yang tinggi
kepada para ilmuwan serta tradisi membaca dan menulis buku. Kegiatan
mengoleksi buku ini tidak hanya terjadi terjadi pada perorangan,
malainkan juga secara kelembagaan.
6. Membangun Lembaga Pendidikan
Yang
dimaksud dengan lembaga pendidikan disini adalah tempat atau wadah
yang digunakan untuk melaksanakan kegiatan pendidikan, pengajaran,
bimbingan, dan pelatihan, baik yang bersifat formal, non formal maupun
informal. Lembaga pendidikan tersebut seperti, berupa toko buku, rumah
para ulama, majelis al-ilmu, sanggar kesusastraan, observatorium, dan
madrasah.
7. Melakukan Penelitian Ilmiah
Penelitian
adalah suatu kegiatan ilmiah yang secara garis besar diarahkan kepada
dua hal. Pertama, penelitian untuk mendapatkan temuan baru dalam bidang
ilmu pengetahuan atau teori. Penelitian jenis pertama ini disebut
sebagai penelitian ilmiah. Kedua, penelitian untuk menerapkan teori
atau kosep menjadi sebuah program atau kegiatan yang secara pragmatis
mendatangkan manfaat atau meningkatkan kesejahteraan masyarakat baik
secara lahir naupun batin. Penelitian jenis kedua ini disebut sebagai
penelitian terapan.
8. Menulis Buku
Sejalan
dengan adanya tradisi meneliti yang demikian kuat dan bervariasi, maka
pada zaman Abbasiyah juga muncul tradisi menulis buku. Di antara
penulis penulis tersebut adalah :
a. al- Jahidz,
ia di kenal sebagai seorang sastrawan terkenal yang hidup pada zaman
al-Makmun dan berani menulis tanpa terikat pada tradisi lama.
b. Imam Bukhari, ia dikenal sebagai peneliti dan penulis Hadis yang mahsyur.
c. Ibn sa'id, ia mengarang buku tentang kemenangan umat islam dalam peperangan dengan judul Thabaqat al-Qubra sebanyak 8 jilid.
9. Memberikan Wakaf
Tradisi
memberikan wakaf ini terjadi antara lain ketika seseorang yang
memiliki banyak harta, sedangkan tidak ada keturunan untuk merawat dan
memanfaatkannya dengan baik, maka harta tersebut diserahkan kepada
sebuah lembaga untuk dimanfaatkan bagi kepentingan umum, seperti
pendidikan, kesehatan, dan keamanan dengan dasar ikhlas karena Allah
SWT. Selain itu, wakaf juga muncul sebagai jalan untuk menjalin
kesalihan sosial dan pendekatan diri kepada Allah SWT, serta bekal
pahala di akhirat.
L. SARANA DAN PRASARANA
Sarana
prasarana pendidikan seperti lembaga pendidikan, peralatan kegiatan
penelitian dan percobaan, tersedia lebih lengkap dibanding dengan masa
sebelumnya. Hal ini sejalan dengan terjadinya perkembangan ilmu
pengetahuan yang memerlukan peralatan khusus dalam mengajarkannya.
Gedung sekolah, perkantoran, alat-alat tulis, rumah tempat tinggal bagi
para guru, asrama bagi mahasiswa, ruang praktikum bagi para mahasiswa,
dan berbagai sarana lainnya yang dibutuhkan tersedia dengan memadai.
Ketersediaan sarana prasarana dan peralatan belajar mengajar terjadi
berkat adanya perhatian yang besar dari pemerintah serta masyarakat
pada umumnya terhadap masalah pendidikan.
M. PEMBIAYAAN PENDIDIKAN
Sumber
pembiayaan pendidikan ini berasal dari anggaran belanja pemerintah
serta dari dan wakaf yang berhasil dihimpun. Dana tersebut digunakan
untuk biaya hidup para guru, para pelajar, pembangunan gedung sekolah,
serta pengadaan saran dan prasarana serta peralatan pendidikan lainnya.
Biaya pendidikan ini dikeluarkan karena pada umumnya lembaga
pendidikan yang diselenggarakan bersifat gratis, yakni dibiayai oleh
pemerintah. Menurut catatan para ahli sejarah, bahwa pada setiap
tahunnya, pemerintah Abbasiyah mengeluarkan dan tidak kurang dari
600.000 dinar atau setra dengan 6 miliat rupiah untuk ukuran waktu itu,
atau sebanyak 6 triliun untuk ukuran waktu sekarang.
N. MANAJEMEN PENDIDIKAN
Terjadinya
kemajuan dalam sistem pendidikan Islam tidak terlepas dari adany
manajemen pengelolaan pendidikan yang rapi dan tertib. Gedung-gedung
sekolah dibanmgun, diatur, dipelihara, digunakan dan dikelola dengan
tertib. Rumah-rumah bagi guru, dan asrama bagi para pelajar dibangun
sesuai dengan rapid an tertib. Demikian pula jadwal kegiatan belajar
mengajar, tugas-tugas bagi para guru dan lainnya diatur dengan baik.
Hubungan antara lembaga pendidikan yang berada di pusat pemerintahan
dan yang ada di daerah diatur dan dikelola dengan baik. Lembaga
pendidikan tersebut dikelola oleh sebuah kementrian pendidikan.
O. PARA PELAJAR
Para
pelajar yang menimba ilmu pada zaman Abbasiyah berasal dari daerah
sekitarnya serta mancanegara. Keadaan para pelajar yang demikian itu
menyebabkan kota Baghdad menjadi masyarakat multi etnis dan
multikultural. Interaksi antara para pelajar yang berasal dari latar
belakang daerah yang berbeda-beda. Hal itu menyebabkan timbulnya
atmosfer akademik dan tradisi ilmiah yang luar biasa. Keadaan ini
semakin menambah suasana kegiatan intelektual makin meningkat dan
mendorong proses pematang keilmuan seseorang.
DAFTAR PUSTAKA
1. Aen,Nurul. 2008. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Pustaka Setia.
2. Sunanto, Musyrifah. 2004. Sejarah Islam Klasik Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam. Jakarta: Prenada Media.
3. Suwito, et l. 2005. Sejarah Sosial Pendidikan Islam. Jakarta: Katalog Dalam Terbitan.
4. Suwito. 2008. Sejarah Sosial Pendidikan. Jakarta : Kencana
5. Nizar, Syamsul. 2011. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta : Kencana Media Group.
Sumber : https://wartasejarah.blogspot.com/2015/06/sejarah-perkembangan-pendidikan-islam_11.html
0 komentar:
Posting Komentar