Senin, 10 Mei 2010

KISAH PUA' MANYANG KEPINCUT FACEBOOK

“Rakyat tidak menginginkan pemimpin yang hanya peduli pada golongan
sendiri, daerah sendiri, kerabat sendiri, pemimpin yang egoistik. Atau
pemimpin mabuk kuasa, yang takut kehilangan kursi. Para pemimpin ini
berdiri tegak di depan dengan panji-panjinya, dan di belakang, ribuan massa
pendukungnya. Namun, suara seorang pemimpin politik sekarang ini, meski
jelas-jelas demi kepentingan seluruh bangsa, tetap saja ditafsirkan bagi
kepentingan kelompoknya. Mereka ini adalah tokoh-tokoh dengan kepentingan
golongan, massa tertentu, demi tujuan tertentu pula. Ia mengabdi untuk masa
kini yang dekat dan untuk persoalan-persoalan aktual saja. Tanda gambarnya
kami, dan bukan tanda gambar kita. Dan karenanya, sulit memperoleh
kepercayaan dari massa dan golongan lain”.(Sri Sultan Hamengku Buwono X)

Alkisah, diceritakan dalam suatu kampung di pedalaman Sendana tinggallah seorang tua bernama Pua' Manyang bersama istri dan seorang anak semata wayangnya. Pua' Manyang sebenarnya tidak dikenal sebagai nama yang lazim bagi seseorang yang lahir di kampung tersebut. Apalagi Pua' Manyang hanya berasal dari golongan masyarakat biasa. Nama Pua' Manyang melekat justru karena kebiasaan Pua' Manyang yang hobby menenggak minuman keras tradisional dari daerah mandar yaitu "Manyang Pai' (Tuak). Kebiasaan Pua' Manyang dalam mengkonsumsi minuman tersebut tanpa kenal waktu membuat nama aslinya, Rusli berubah panggilannya menjadi Pua' Manyang. Namun, kebiasaan Pua' Manyang tersebut justru mengantarkan Pua' Manyang menjadi idola di kampungnya. Pua' Manyang menjadi terkenal karena guyonan politiknya yang selalu menghentak publik atau masyarakat disekelilingnya. Apalagi jika Pua' Manyang sedang teler, hampir semua kata-kata yang keluar dari mulutnya menjadi tren bahasa politik di kampungnya.
Tutur dan kosa kata bahasa mandar Pua' Manyang lain dari yang lain. Hal ini yang membuat banyak para politikus datang menyambangi rumah Pua' Manyang untuk sekedar mengajaknya minum lalu kemudian berguru kepada Pua' Manyang beberapa "pepasang leluhur Mandar" yang banyak diketahui olehnya. Menjelang Pemilihan Bupati di Majene pada 2011 mendatang, rumah Pua' Manyang tidak lagi hanya didatangi oleh para politikus, tetapi kadang-kadang Pua' Manyang diboyong ke rumah para politikus sampai berhari-hari.
Akibat pergaulan dengan para politikus tersebut, Pua' Manyang menjadi sangat sering keluar rumah. Jika bukan para politikus itu yang datang kerumahnya, maka Pua' Manyang yang akan pergi menyambangi rumah politikus tersebut. Dari pergaulan itu pula Pua' Manyang akhirnya berkenalan dengan jejaring sosial bernama Facebook (baca:fesbuk). Pergaulan dengan Facebook menjadi sensasi tersendiri bagi Pua' Manyang. Meskipun dulunya gaptek, sekarang Pua' Manyang sudah bisa mengoperasikan komputer meskipun hanya tahu membuka Facebook saja. Itupun dia harus berjalan kaki kurang lebih 10 km dari rumahnya untuk numpang pinjam komputer politikus kenalannya di pusat kota kecamatan Sendana. Satu hal yang menjadi teladan bagi Pua' Manyang karena ia tidak mudah dipengaruhi oleh iming-iming harta dari beberapa politikus kenalannya. Pernah Pua' Manyang ditawari Laptop oleh seorang politikus yang tahu kegandrungan Pua' Manyang bermain Facebook, namun Pua' Manyang menolak dengan alasan tak ada listrik dikampungnya...setengah diplomatis Pua' Manyang berkata "Na'u, perjuangkammi dzolo' listiri’ mettama dikappungngu anna' mala iting utarima pappebengammu, nau apai laptop mua' andattoi namala upake? masaemi pakkappung ma'eppei janji-janjimmu, lambi' dite'e andatto a'dupanna" (Nak, perjuangkanlah dulu listrik masuk dikampungku baru saya bisa menerima pemberianmu, buat apa laptop jika tidak juga bisa saya gunakan? masyarakat sudah lama menanti janji-janjimu, sampai sekarang tidak juga ada hasilnya). Muka politikus yang sekarang menjadi legislator tersebut tersipu malu dan sadar dengan kecerobohannya. Dalam hati Pua' Manyang "bersabda": "Masaemo' macanga appo...".
Namun disisi lain, kenyataan ini membuat Indo' Manyang (istri Pua' Manyang) sering meradang. Kepergian Pua' Manyang selama berhari-hari karena kecanduan Facebook membuat Indo Manyang sering naik pitam. Apalagi kesenangannya menghisap ”bakal” (tembakau) menjadi terganggu. Maklum, Pua' Manyang sering membawa serta bakal dan kertas lintingannya jika pergi keluar rumah. Dan yang paling membuat Indo' Manyang tidak senang adalah karena di Facebook Pua' Manyang selalu berpolitik dan mengganggu ipar dari adik iparnya yang mau mencalonkan diri jadi Bupati. Pua' Manyang sekarang telah memiliki akun Facebook yang setiap harinya menyampaikan unek-unek politiknya kepada kandidat calon Bupati dan Wakil Bupati Majene. Kadang-kadang Pua' Manyang berdiri pada posisi menengahi perselisihan para politikus di facebook, kadang pula Pua' Manyang menyampaikan pandangan "intelektual"nya yang didapat secara otodidak dari pergaulannya. Pua' Manyang malah menjadi sensasi di Facebook. Perdebatan politik di Facebook tanpa kehadiran Pua' Manyang akan menjadi hambar. Pua' Manyang sering hadir jika perdebatan telah mencapai puncak perseteruan yang memanas bahkan keluar dari substansi persoalan. Tak jarang Pua' Manyang harus melerai para politikus yang saling menuding dan mencela serta mencari-cari kesalahan sesamanya. Tak jarang pula Pua' Manyang harus menelan pil pahit, disemprot para politikus jika komentar-komentarnya dianggap memihak salah satu pihak. Namun bukan Pua' Manyang namanya jika tak lihai berkelit...ada-ada saja ungkapan Pua' Manyang yang membuat dia urung dipersalahkan.
Kembali ke Indo' Manyang. Menyadari kegandrungan Pua' Manyang tak dapat dibendung lagi, akhirnya Indo' Manyang berinisiatif belajar membuat akun Facebook. Diam-diam tanpa sepengetahuan Pua' Manyang ia berguru Facebook pada ipar adik iparnya yang mencalonkan diri jadi Bupati. Segala macam komentar, status dan catatan yang menyudutkan ipar adik iparnya tersebut dibantah dengan segala cara, termasuk harus menghina lawan politiknya secara fisik. Kata-kata "Arepus,Pullado',menjadi "tai pau" yang sering keluar dari komentar-komentarnya. Bahkan ia pun berani menghina Pua' Manyang suaminya yang sekian tahun menghidupinya dari sebidang kebun 10 meter persegi, itupun didapat dari pemberian tuan tanah yang juga politikus.
Perseteruan Pua' Manyang dan Indo' Manyang di Facebook memang tidak natural. Karena kebanyakan komentar Indo' Manyang justru berasal dari "bisik-bisik tetangga" yang mengajari Indo Manyang. Makanya Komentar-komentar Indo' Manyang menjadi sering tidak nyambung. Hal ini yang membuat Pua' Manyang tidak memperdulikan kata-kata Indo' Manyang dan malah semakin semangat mengutarakan "kutukannya" di Facebook. Dari nadanya, sebenarnya Pua' Manyang sangat sayang kepada Indo' Manyang, namun terlanjur sakit hati yang sudah terakumulasi membuat Indo' Manyang juga tak perduli lagi dengan nasehat Pua' Manyang. Apalagi selama ini, untuk membuat dapurnya tetap ngebul, kadang-kadang keuangan Indo' Manyang harus disubsidi oleh ipar adik iparnya yang politikus tersebut.
Perseteruan Pua' Manyang dan Indo Manyang bukan hanya berimbas pada keretakan hubungan rumah tangganya. Anaknya, I Manyang turut menjadi korban. I Manyang yang dulunya rajin sekolah sekarang menjadi pemalas dan sering berbuat onar di kampung. Menyabung ayam dan berkelahi menjadi hobby baru I Manyang semenjak kedua orang tuanya sibuk main Facebook. I Manyang tak perduli lagi dengan rumanhya, bahkan ia lebih senang tidur di pos ronda bersama para petugas ronda malam ketimbang tidur dirumahnya. Sebenarnya I Manyang juga ingin belajar main Facebook, tapi ia takut pada orang tuanya. Ingin rasanya I Manyang mencurhatkan kekesalannya di Facebook agar dapat dibaca oleh para pengguna Facebook. Tapi apa daya, jangankan orang lain, orang tuanya sendiri tak lagi perduli pada dirinya. Bahkan ketika I Manyang meminta uang pada orang tuanya untuk berguru ke pulau Jawa, I Manyang malah ditendang oleh ibunya dan mengatakan nanti orang Jawa yang di”rental” dan dibawa kesini (Ke Majene:red).
Demikian sepenggal kisah tragis Keluarga Pua' Manyang di Facebook. Bagaimana kelanjutan ceritanya? Tunggu episode selanjutnya.
Cerita ini bukan mengisyaratkan Facebook tak bermanfaat, tetapi kecenderungan buruk dalam mengelola akun Facebook sebagai jejaring sosial menjadi ajang pelecehan telah menjadi pelajaran betapa dialog yang cerdas itu menjadi sangat penting, termasuk di Facebook. Budaya memperalat dan diperalat seyogyanga tidak dibawa kedalam ranah pergaulan terutama bagi orang yang mengaku intelek dan terhormat. Tapi, mari jadikan Facebook sebagai wadah persatuan dalam membina kebersamaan untuk membangun daerah, negara dan bangsa kita. Jadikan Facebook sebagai wahana diskusi yang sehat, cerdas dan mencerahkan bagi siapa saja. Termasuk keluarga Pua' Manyang yang sampai saat ini tak pernah menampakkan wajah aslinya di Facebook.....
Cerita ini hanya fiksi, bila ada kesamaan nama, karakter, alur cerita dan lokasi, mohon jangan ditanggapi berlebihan, tapi anggaplah ini bagian dari guyonan Mandar kontemporer. Semoga Bermanfaat!! (Wassalam)

Rabu, 05 Mei 2010

Dimensi Kepemimpinan Aparatur dalam Perspektif Pelayanan Publik: Building the Trust

One of the public administration reform agenda is to create a
responsive and accurate public management to provide good public
service. The emergence of public dissatisfaction and disappointed
toward government leadership caused by unability of public leaders
to make a significant change in public administration practice and
better life of people. Therefore, public organisation needes visionary
leadership who are able to provide a truly citizen-centered public
service. Leaders who could build public trust to government.
Key words: Public service reform, service leadership, public trust.

Dimensi kepemimpinan telah lama menjadi kajian yang menarik terutama
terhadap keberhasilan kepemimpinan dalam suatu organisasi. Kompetensi
kepemimpinan dapat diketahui dari keberhasilan seseorang dalam
kepemimpinannya bagi pencapaian tujuan organisasi. Seorang pemimpin
aparatur dituntut harus mampu membawa organisasi publik yang
dipimpinnya memberikan pelayanan yang berkualitas.
Hudges (1992) mengatakan bahwa ”government organization are created by the
public, for the public, and need to be accountable to it.” Organisasi publik dibuat
oleh publik, untuk publik, dan karenanya harus bertanggung jawab kepada
publik. Bertumpu pada pendapat ini, pemimpin organisasi publik diwajibkan
berakuntabilitas atas kinerja yang dicapai organisasinya. Tujuan utama
organisasi publik adalah memberikan pelayanan dan mencapai tingkat
kepuasan masyarakat seoptimal mungkin.
Karakteristik manajemen pelayanan pada sektor publik sebagai suatu keseluruhan
kegiatan pengelolaan pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah, memiliki dasar hukum
yang jelas dalam penyelenggaraannya, memiliki kelompok kepentingan yang luas
termasuk kelompok sasaran yang ingin dilayani (wide stakeholders), memiliki tujuan
sosial serta akuntabel pada publik. Sejalan dengan perkembangan manajemen
penyelenggaraan negara, dan dalam upaya mewujudkan pelayanan prima, paradigma
pelayanan publik berkembang dengan fokus pengelolaan yang berorientasi pada
kepuasan pelanggan (customer-driven government) yang dicirikan dengan lebih
memfokuskan diri pada fungsi pengaturan, pemberdayaan masyarakat, serta
menerapkan sistem kompetisi dan pencapaian target yang didasarkan pada visi, misi,
tujuan dan sasaran.
Tuntutan masyarakat akan pelayanan publik yang berkualitas,
mengharuskan pembenahan dalam manajemen publik. Masih tingginya
tingkat keluhan masyarakat pengguna jasa menunjukkan bahwa pemerintah
sebagai organisasi publik masih belum sepenuhnya mampu menciptakan
sistem pelayanan yang akseptabel dimata rakyat. Hal ini sedikit banyak telah
membawa dampak menurunnya kepercayaan publik terhadap organisasi
publik. Nunik (2001) mengatakan bahwa tingkat kepercayaan masyarakat
(public trust) kepada organisasi publik mulai menurun. Lebih lanjut dikatakan
bahwa pada kebanyakan organisasi publik masih sering dijumpai fungsi
pengaturan yang lebih dominan dibanding fungsi pelayanan. Berbagai hasil
survey (termasuk pooling) juga memperlihatkan adanya kecenderungan
penurunan kepercayaan dan keyakinan publik terhadap organisasi publik.
Misalnya, survey ”Rethinking Government 2000” di Canada yang dilakukan oleh
Ekos Research Associates Inc. menemukan hanya 16% dari publik yang percaya
bahwa pemerintah membuat keputusan yang sejalan dengan kepentingan
publik. Hal ini tentu harus disikapi dengan bijaksana yaitu dengan interospeksi
dan selanjutnya melakukan perubahan dan perbaikan yang signifikan.
Untuk mewujudkan pelayanan yang berkualitas, pemerintah telah
melakukan berbagai agenda reformasi manajemen publik. Secara garis besar,
terdapat 3 (tiga) metode reformasi manajemen publik yaitu : (1) Methods to
Improve Service Delivery, (2) Methods to Increase Efficiency, dan (3) Methods to
Improve Governance. Metode ini mengisyaratkan bahwa agenda peningkatan
kualitas pelayanan publik, peningkatan efisiensi dan peningkatan governance
(dengan tiga pilarnya) selalu menjadi agenda utama dalam reformasi
manajemen publik di berbagai Negara. Di Indonesia ketiganya menjadi agenda
penting yang menjadi acuan dalam meningkatkan pelayanan publik.
Dalam melaksanakan agenda reformasi manajemen publik diatas, terdapat
dua pihak yang seharusnya dapat saling bekerja sama untuk mewujudkan
pelayanan yang berkualitas. Di satu sisi, kita menghadapi masyarakat yang
semakin kritis dan juga kondisi mereka yang terhimpit kebutuhan dan ekonomi
yang sebagian besar berada pada golongan menengah ke bawah, sehingga
tuntutan mereka ingin segera diatasi dengan cepat, tepat dan murah. Sehingga
ketika upaya reformasi manajemen publik yang dilakukan pemerintah belum
secara optimal mampu memenuhi tuntutan masyarakat tersebut, masyarakat
selalu memberikan label negatif dan terkadang berperilaku distruktif, tidak
mendukung berbagai agenda yang dicanangkan pemerintah.
Di sisi lain, kita harus mengapresiasi bahwa saat ini pemerintah terus
bergerak dan berupaya memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat.
Berbagai kebijakan, strategi dan program baik secara nasional maupun daerah
diarahkan pada agenda-agenda peningkatan kualitas pelayanan publik,
penerapan konsep efisiensi dalam sektor publik (karena masalah keterbatasan
anggaran), dan juga kolaborasi ketiga pilar good governance serta menerapan
prinsip-prinsipnya. Upaya tersebut membutuhkan waktu dan dukungan
masyarakat.
Dengan kondisi tersebut, satu tahap penting yang harus dilakukan
pemerintah pada saat ini adalah membangun kepercayaan masyarakat
terhadap kinerja pemerintah. Dalam tahap inilah kita membutuhkan suatu
kepemimpinan yang berkinerja tinggi dan mampu melakukan pendekatan
kepada masyarakat untuk mengakomodasi tuntutan kebutuhan dan
permasalahan. Salah satu indikator keberhasilan seorang pimpinan dalam
mengembangkan ‘truly citizen-centered’ adalah apakah pendekatan kepada
masyarakat yang mereka lakukan berjalan dengan efektif dan juga terjamin
kelangsungannya atau sebaliknya gagal untuk menjalin hubungan dengan
masyarakat.
A. Kepemimpinan dan Pelayanan Publik
Kepemimpinan menjadi salah satu faktor kunci dalam kehidupan
organisasi, termasuk pada sektor publik. Thoha (2004) menyatakan bahwa
suatu organisasi akan berhasil atau bahkan gagal sebagian besar ditentukan
oleh faktor kepemimpinan. Begitu pentingnya masalah kepemimpinan ini,
menjadikan pemimpin selalu menjadi fokus evaluasi mengenai penyebab
keberhasilan atau kegagalan organisasi.
Kepemimpinan (leadership) menurut Ensiklopedia Umum-Kanisius (1993),
diartikan sebagai hubungan yang erat antara seorang dan kelompok manusia
karena ada kepentingan yang sama. Hubungan itu ditandai oleh tingkah laku
yang tertuju dan terbimbing dari pemimpin dan yang dipimpin. Jadi dalam
kepemimpinan, tentu akan melibatkan unsur pemimpin (influencer) yakni
orang yang akan mempengaruhi tingkah laku pengkikutnya (influencee) dalam
situasi tertentu. Sedangkan Gibson, et. al (1992) mendefinisikan kepemimpinan
sebagai kemampuan di dalam mempengaruhi sekelompok orang untuk
bersama-sama mencapai tujuan. Pengertian yang senada juga dikemukan oleh
Chowdhury (2003) bahwa “Exercising leadership inevitably involves having
influence. One cannot lead without influencing other”. Sumber dari pengaruh bisa
berupa pengaruh formal yang telah ditetapkan secara organisasional sehingga
seorang pemimpin mampu mempengaruhi orang lain semata-mata karena
kedudukan di tingkat manajerial. Jadi kepemimpinan merupakan suatu proses
dimana seseorang mempengaruhi kebiasaan orang lain ke arah penyelesaian
tujuan yang spesifik yang mengarah kepada teaching organization untuk dapat
melatih dan mengembangkan knowledge, skill, dan attitude setiap individu
dalam organisasi.
Perkembangan konsep kepemimpinan sampai pada apa yang disebut
sebagai kepemimpinan transformasional (transformational leadership) yang
dipelopori oleh Bernard M. Bass sebagai kelanjutan studi dari J.M. Burn pada
tahun 1978. Kepemimpinan transformasional didasarkan pada perubahah nilai,
keyakinan yang dipromosikan oleh pemimpin dan kebutuhan dari
pengikut/pegawainya (Luthan, 1995). Simic (1998) dengan mengutip pendapat
Stoner menyatakan bahwa pemimpin transformasional mendorong para
pegawai untuk mengerjakan lebih dari apa yang dapat dikerjakan,
meningkatkan perasaan bahwa apa yang dikerjakan adalah penting dan
bernilai, dan menjadikan pegawai sampai pada prinsip bahwa kepentingan
organisasi yang utama.
Lebih lanjut Simic (1998) dengan mengutip pendapat Galpin
menegaskanenam cirri kepemimpinan transformasional, dua diantaranya yang
terkait erat dengan manajemen sumber daya manusia adalah menghargai
orang lain (appreciation of others) dan pengakuan (recognition). Menghargai orang
lain mengandung makna komunikasi dua arah yang juga mencerminkan
prinsip mendengarkan pegawai. Sedangkan recognation berarti pemberian
penghargaan, misalnya ucapan terima kasih kepada pegawai baik dalam
kondisi sendiri (langsung kepada pegawai yang bersangkutan) maupun dalam
suatu forum. Terkait dengan prinsip tersebut dalam rangka meningkatkan
semangat pegawai, perlu diperhatikan apa yang disarankan oleh Kenneth
Blanchard bahwa pemimpin yang baik adalah pemimpin yang berusaha
’memergoki’ bawahan pada saat mereka berprestasi dan kemudian
memberikan pujian secara tulus, bukan yang berusaha ’memergoki’ bawahan
pada saat berbuat kesalahan dan menghukumnya. Efektifitas kepemimpinan
didasarkan pada kombinasi karakteristik personal, keahlian manajerial,
perilaku, dan situasi.
Dalam perspektif pelayanan publik, pemimpin harus mampu membawa
organisasi publik memberikan pelayanan prima. Karena pada hakekatnya
dibentuknya organisasi publik adalah untuk memberikan pelayanan kepada
masyarakat. Tangkilisan (2005) mengatakan bahwa organisasii publik
dikatakan efektif apabila dalam realita pelaksanaannya birokrasi dapat
berfungsi melayani sesuai dengan kebutuhan masyarakat (client), artinya tidak
ada hambatan (sekat) yang terjadi dalam pelayanan tersebut, cepat dan tepat
dalam memerikan pelayanan, serta mampu memecahkan fenomena yang
menonjol akibat adanya perubahan sosial yang sangat cepat dari faktor
eksternal. Efektivitas organisasi publik tersebut merupakan produk dari sebuah
sistem yang salah sistem (unsur) adalah sumber daya manusia aparatur.
Sebagai bagian dari suatu sistem, meningkatnya profesionalitas sumber daya
manusia aparatur tidaklah otomatis kinerja organisasi publik akan meningkat.
Sehingga manakala sumber daya manusia aparatur telah profesional, namun
tidak didukung oleh sub-sub sistem lainnya seperti kelembagaan,
ketalaksanaan, sarana dan prasarana yang memadai, niscaya kinerja organisasi
publik yang bersangkutan tidak akan bisa mencapai tingkat kerja yang optimal.
Meskipun demikian, sumber daya manusia yang profesional menjadi faktor
diterminan dan sekaligus menjadikan sub sistem lain menjadi baik, dan pada
akhirnya kinerja organisasi publik menjadi baik pula. Berarti kesuksesan suatu
organisasi sangat tergantung pada kinerja sumber daya manusianya yaitu
para pegawai dalam berbagai strata suatu piramida organisasi, yang pada
dasarnya para pegawai tersebut bekerja membutuhkan pemimpin yang
memimpin mereka dalam bekerja. Karena itu, kepemimpinan sebagai bagian
dari sub sistem sumber daya manusia sangat menentukan berjalannya
keseluruhan sub-sub sistem yang terintegratif dan saling berkaitan menjadi
sistem yang mampu menggerakkan roda organisasi secara efektif dan efisien.
Tanpa kepemimpinan yang baik, akan sulit bagi organisasi publik untuk
mencapai tujuannya, yaitu memenuhi tuntutan pelaksanaan tugas dan
fungsinya yang strategis dalam pelayanan publik.
Menurut Goleman (2002), tugas pemimpin adalah menciptakan pada apa
yang disebutnya sebagai resonansi (resonance) yaitu suasana positif yang
mampu membuat seluruh sumber daya manusia dalam organisasi terus
mengikatkan diri (committed) dan menyumbangkan yang terbaik bagi
organisasi. Schein (1992) menyatakan bahwa pemimpin mempunyai pengaruh
yang besar terhadap keberhasilan organisasi dalam menghadapi tantangan
yang muncul.
Tuntutan akan kualitas dan kinerja kepemimpinan dalam penyelenggaraan
pemerintahan mengemuka dan terus meningkat telah menjadi patron seorang
pemimpin dan calon pemimpin di dalam membawa perubahan dalam
organisasi, serta memotivasi anggotanya untuk mencapai tujuan organisasi.
Kepemimpinan menjadi basis dalam manajemen sumber daya manusia yang
diharapkan tidak saja pada aspek operasional yaitu dalam pembentukan
kualitas kehidupan kerja tetapi juga pada aspek stratejik yang mendasari
terbentuknya kondisi kehidupan kerja tersebut.
Dari uraian di atas menunjukkan bahwa kepemimpinan mempunyai
peranan yang besar untuk memaksimalkan organisasi bekerja dalam
memberikan pelayanan yang berkualitas. Dalam kaitan ini, pengalaman dari
negara-negara di Asia menunjukkan bahwa kepemimpinan pemerintahan
menjadi kunci perubahan. Keberhasilan Malaysia dan Singapura menjadi
negara yang mampu memberikan pelayanan publik yang berkualitas terutama
karena faktor kepemimpinan.
Untuk menjelaskan hubungan antara faktor kepemimpinan dan kualitas
pelayanan publik, dapat dikemukakan pendapat Katz dan Kahn dalam Richard
M. Steer (Tangkilisan, 2005), bahwa kualitas kepemimpinan dalam berbagai
bentuk memperlihatkan perbedaan antara organisasi yang mampu mencapai
tujuan dan yang tidak. Dikatakan bahwa kepemimpinan dapat mengisi
beberapa fungsi penting yang diperlukan bagi organisasi untuk mencapai
tujuannya, seperti berikut ini :
1. Dalam fungsi mengisi kekosongan akibat ketidaklengkapan atau
ketidaksempurnaan desain organisasi. Ada banyak hal dalam aktivitas
organisasi publik yang tidak diatur dalam peraturan perundangan sebagai
dasar pembentukan organisasi publik. Karena itu tugas pemimpin adalah
mewakili organisasi publik dalam setiap kegiatan yang menyangkut tugas dan
fungsi pokok birokrasi publik. Tugas-tugas lain, baik internal maupun
eksternal, yang belum diatur dalam perundangan yang ada, menjadi tanggung
jawab pimpinan.
2. Membangun mempertahankan stabilitas organisasi dalam lingkungan
yang bergolak, dengan memungkinkan dilakukan penyesuaian dan adaptasi
yang segera pada kondisi lingkungannyang bergolak atau yang sedang
berubah. Dalam menindaklanjuti aktivitas layanan, sudah menjadi tugas
pimpinan dan para stafnya untuk melakukan persiapan diri jika mekanisme,
metode, dan teknik yang bersifat substansial maupun peraturan perundangan
yang melatarbelakanginya.
3. Membantu koordinasi intern dari unit-unit organisasi yang berbedabeda,
khususnya selama nasa pertumbuhan dan perubahan. Kepemimpinan
dapat meredam serta menjadi pemisah bagi kelompok-kelompok yang
berkomflik dalam organisasi. Tugas dan fungsi organisasi publik tidaklah
ringan, karena keberhasilan layanan sangat ditentukan oleh kualitas kerjanya.
Inilah tugas berat dari organisasi publik, karena itu dibutuhkan seorang
pimpinan yang mampu mengatasi gejolak atau konflik internal sehingga tidak
mengganggu kinerja serta prestasi organisasi publik.
4. Memainkan peranan dalam mempertahankan susunan anggota yang
stabil dengan cara pemenuhan kebutuhan anggota secara memuaskan. Untuk
mensukseskan organisasi publik dalam menjalankan tugas dan fungsinya,
pimpinan dan stafnya perlu memikirkan kesejahteraan karyawan, baik
kebutuhan fisik, spritual, maupun kepuasan-kepuasan lain yang menjadi
ukuran karyawan sendiri. Jika kondisi ini terpenuhi, tidaklah sukar bagi
organisasi publik untuk mengemban tugas yang diberikan kepadanya.
Dalam mewujudkan pelayanan prima, seorang pemimpin harus berani
melakukan perubahan. Karena itu diperlukan kepemimpinan transformasional
yaitu kepemimpinan yang mampu sebagai agen perubahan. Berbagai
perubahan mungkin mendapatkan tantangan dan hambatan, baik dari dalam
maupun luar organisasi namun seorang pemimpin transformasional harus
berani menghadapi kompleksitas, ambiguitas, dan ketidakpastian tersebut
dengan menyiapkan strategi terbaik. Perubahan-perubahan yang dapat
dilakukan seorang pemimpin untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik,
antara lain :
a. Memangkas berbagai birokrasi yang sudah tidak relevan.
b. Menerapkan contestability (membandingkan pelayanan yang dilakukan unit
organisasinya dengan organisasi lain untuk melihat efisiensi dan
efektivitasnya) bahkan mengembangkan kontrak dengan sektor swasta (jika
hal ini merupakan jalan terefektif dan terefisien yang harus ditempuh).
c. Menggunakan berbagai teknologi baru untuk meningkatkan kualitas
pelayanan publik.
d. Mengembangkan kebijakan publik yang berorientasi pada pelanggan
(customer focus)
Tuntutan akan perbaikan atas kondisi pelayanan publik dewasa ini semakin
besar dan menjadi agenda utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Seorang pemimpin harus mampu melakukan perubahan-perubahan menuju
perbaikan secara sistematis dan terukur. Namun demikian berbagai upaya
reformasi yang sifatnya lebih ’internal’ tersebut juga harus dibarengi dengan
suatu penngembangan strategi yang bersifat eksternal. Strategi ini diarahkan
pada pengembangan ’citra baik’ organisasi dan pelayanan yang diberikan oleh
organisasi publik.
B. Pelayanan Publik dan Building the Trust
Kepercayaan publik tumbuh dari pelayanan yang berkualitas. Hal tersebut
sejalan dengan pernyataan OECD (2000) bahwa pada dasarnya pelayanan
public adalah kepercayaan publik. “Public service is a public trust. Citizens expect
public servants to serve the public interest with fairness and to manage public resources
properly on a daily basis. Fair and reliable public services inspire public trust and create
a favourable environment for businesses, thus contributing to well-functioning markets
and economic growth,” Dengan demikian, kualitas pelayanan publik merupakan
salah satu strategic issue bagi aparatur negara yang harus diaktualisasikan
dalam kerangka membangun kepercacayaan public.
Dalam upaya perwujudan hal-hal tersebut, pemimpin merupakan faktor
yang signifikan. Peran pemimpin dalam membangun kepercayaan publik
mencakup lingkup internal yang berkaitan dengan upaya menggerakkan dan
memastikan seluruh sumberdaya aparatur berkinerja tinggi, dan lingkup
eksternal organisasi dalam upaya mencermati harapan masyarakat dan
komunikasi eksternal baik menyangkut ukuran-ukuran kinerja pelayanan
(public service measures) yang ditetapkan, upaya yang telah, sedang dan akan
dilakukan, maupun kinerja pelayanan yang telah dihasilkan.
Pemimpin yang cerdas bukanlah suatu jaminan untuk memimpin suatu
organisasii yang efektif dan efisien, karena seorang pemimpin selain memiliki
pengetahuan dan keterampilan untuk memimpin juga dituntut berperilaku
sebagai panutan bagi bawahannya (building the trust). Arie de Geus
mengemukan bahwa organisasi yang bisa bertahan lebih dari seratus tahun dan
menunjukkan prestasi yang outstanding adalah organisasi yang dipimpin oleh
pemimpin yang teach by example (dalam Nugroho D, 2003).
Dalam konteks organisasi publik, kepemimpinan lebih merupakan
‘kepemimpinan formal’ dalam arti pemimpin merupakan orang yang diangkat
dan dikukuhkan untuk menduduki jabatan tertentu. Pada kondisi demikian,
akuntabilitas (accountability) menjadi penting sebagai bentuk
pertanggungjawaban atas kedudukan dan kepemimpinan dan
‘pertanggungjawaban sosial’. Akuntabilitas di atas mengandung makna
keharusan/kemampuan untuk menjelaskan dan menjawab segala hal yang
menyangkut langkah dan proses yang dilakukan serta
mempertanggungjawabkan atas kinerjanya.
Dalam rangka mewujudkan kinerja maksimal, kepemimpinan aparatur
harus mendasarkan pada kredibilitas yang dibentuk atas dasar profesionalitas
dan kejujuran. Kejujuran dalam kepemimpinan merupakan akar dan modal
dari terhindarnya tindakan-tindakan yang bertentangan dengan norma-norma
kehidupan sosial dan bernegara, baik yang dilakukan oleh para pemimpin itu
sendiri maupun para pengikutnya.
Dalam membangun hubungan, seorang pemimpin perlu menumbuhkan
karakteristik dan atribut-atribut yang meliputi ( Kuczmarski dan Kuczmarski,
1995): (1) Listens actively; (2) Emphatic; (3) Attitudes are positive and optimistic; (4)
Delivers on Promises and commitment; (5) Energy level high; (6) Recognizes selfdoubts
and vulnerability; dan (7) Sensitivity to others, values, and potential.
Kepemimpinan merupakan fenomena sosial, yang berarti bahwa praktek
kepemimpinan dipengaruhi nilai-nilai (value-driven). Dalam pelayanan publik,
nilai-nilai yang mendasari seorang pemimpin transformasional bertindak
adalah customer satisfaction dan perjuangan pada nilai sosial yang menjadi
tanggung jawab negara. Sebagai konsekuensinya, pengembangan berbagai
sistem pelayanan publik diarahkan pada pemberian pelayanan yang mudah,
murah, tepat dan sederhana. Dampak dari fenomena sosial tidak hanya pada
nilai yang dianut, namun juga seorang pemimpin yang transformasional
haruslah percaya kepada orang lain dan berani memberikan tantangan dan tanggung
jawab pada orang lain (empowerment). Seorang pemimpin harus mampu
menumbuhkan kreativitas dan tidak mematikan berbagai strategi yang
dikembangkan bawahan berdasarkan kompetensi teknis yang mereka kuasai.
Dalam pelayanan publik masih sering dijumpai, seorang pelayan publik
(birokrat) belum mampu melaksanakan tugasnya sebagai pelayan masyarakat.
Birokrasi masih sering memiliki beberapa karakter yang menyebabkan
masyarakat sering alergi bila berurusan dengan birokrasi (Sondang P. Siagian,
1994), yakni :
1. Apathy (apatis), yaitu bersikap acuh tak acuh terhadap pengguna jasa.
Para aparat/birokrasi sering memandang bahwa masyarakat sebagai pihak
yang membutuhkan maka merekalah yang harus mengikuti keinginan birokrat.
2. Brush off (menolak berurusan), yaitu berusaha agar pembutuh jasa tidak
berurusan dengannya misalnyadengan cara mengulur waktu dan membiarkan
menunggu dalam jangka waktu yang lama.
3. Coldness (dingin), yaitu kurangnya keramahan dalam memberikan
pelayanan.
4. Condescension (memandang rendah), yaitu memperlakukan pembutuh
jasa sebagai orang yang tida tahu apa-apa sehingga penyelesaian urusan
menurut keinginan aparatur.
5. Robotism (bekerja mekanis), yaitu bekerja secara mekanis dan
memperlakukan pembutuh jasa dengan perilaku dan tutur kata yang sama dan
monoton.
6. Role Book (ketat pada prosedur), yaitu ketat pada prosedur dan
meletakkan peraturan di atas kepuasan pembutuh jasa.
7. Rondaround (pingpong/saling lempar tanggung jawab), yaitu untuk
menyelesaikan suatu urusan, masyarakat pengguna jasa harus menghubungi
pelbagai pihak yang saling lempar tanggung jawab.
Dalam fenomena sosial, perilaku tersebut menyebabkan masyarakat sering
‘enggan’ bila berurusan dengan birokrasi. Keberadaan karakteristik tersebut
menyebabkan munculnya beberapa implikasi negative seperti dari aspek politis,
terjadi penurunan tingkat kepercayaan dan dukungan masyarakat terhadap
aparat pemerintah; dari aspek finansial, dapat menurunkan pendapatan Negara
karena masyarakat tidak termotivasi untuk taat dan patuh pada kebijakan
pemerintah.
25
Penyelesaian masalah pelayanan publik sangat membutuhkan kerjasama
yang baik antara pemimpin, personal dalam organisasi, masyarakat (client), dan
sektor swasta. Dengan kerja sama yang baik masalah pelayanan publik akan
menjadi ringan jika. semua membuka diri untuk saling menyumpangkan
pemikiran, resources, dan dukungan. Langkah yang dapat ditempuh seorang
pemimpin dalam menggerakkan organisasi untuk menciptakan pelayanan
prima antara lain :
1. Mengembangkan call centers dalam berbagai pelayanan yang diberikan
organisasi publik.
2. Resource sharing atau melibatkan sektor swasta dalam penyediaan
pelayanan publik. Bahkan bagi pemerintah daerah dapat mengembangakan
satu sistem kerja sama dengan daerah terdekat untuk mencapai efektivitas dan
efisiensi dalam satu jenis (atau beberapa) pelayanan kepada publik.
3. Konsultasi publik (citizen consultation) dalam mengembangan sistem atau
kebijakan yang berkaitan dengan pelayanan publik
Meskipun disebutkan di atas bahwa salah satu kompetensi seorang
pemimpin adalah bisa mempengaruhi, namun bukan pengaruh yang bersifat
‘çoercive’ atau pemaksaan. Pengaruh yang dimaksud adalah pengaruh yang
mengandung konsekuensi/keuntungan bagi organisasi dan stakeholdernya.
Pengaruh yang bersifat ‘sukarela’ sangat penting untuk dilakukan dengan
keuntungan antara lain:
1. Meningkatkan kapasitas transaksional yang akhirnya tercipta truly
citizen-centered. Jika masyarakat percaya maka mereka akan berpartisipasi aktif
terhadap berbagai kegiatan pemerintan. Hubungan yang bersifat ‘mutualisme’
ini akan berdampak positif pada kinerja pemerintah dan partisipasi
masyarakat, pemerintah memfokuskan kegiatannya pada tuntutan dan
permasalahan public dan masyarakat memberika dukungan (financial dan
moril) akan kegiatan tersebut.
2. Pemerintah yang dapat diandalkan dan dapat dipercaya dapat
membangun populasi/masyarakat yang saling ‘memperhatikan (care)’. Atau
dengan kata lain menginformasikan permasalahan yang dihadapi pada jalur
resmi pemerintah sehingga tidak gampang dimanipulasi dan dimanfaatkan
pihak lain.
Untuk mendapatkan suatu pengaruh yang ’positif’ dari kepercayaaan
masyarakat bukanlah hal yang mudah. Apalagi kita masih menghadapi
persoalan yang berkaitan dengan kebutuhan dasar masyarakat. Beberapa
catatan perubahan persepsi yang harus dilakukan organisasi publik untuk
mendapatkan kepercayaan atau ‘trust’ dari masyarakat antara lain
1. Menghilangkan persepsi bahwa kualitas pelayanan publik selalu kalah
dan di bawah kualitas pelayanan sektor swasta. Cara yang dapat ditempuh
adalah dengan mengenalkan suatu pelayanan yang melebihi standard
pelayanan yang dilakukan swasta. Atau dengan mempublikasikan ‘prestasi’
/pelayanan terbaik yang dilakukan pemerintah. Strategi ini penting untuk
menunjukkan bahwa ada pelayanan publik yang berhasil dan sukses, karena
26
yang biasa kita dengar adalah cerita kegagalan pelayanan public dalam
memberikan pelayanan terbaik.
2. Menempatkan organisasi pemerintah untuk selalu berada pada titik
kritis kesuksesan pelayanan. Salah satu masalah umum dalam pelayanan
publik adalah kelangsungan suatu kinerja pelayanan. Organisasi publik sering
‘terlalu cepat puas’dengan kinerjanya sehingga ‘lupa’ untuk menjaga kualitas
terbaiknya. Terkadang dengan alasan proyek, suatu pelayanan di disain
dengan kualitas terbaik, namun untuk memelihara kualitas tersebut ungkapan
tidak ada dana, mereka tidak mampu menjaga dan menyesuaikan pelayanan
dengan perubahan lingkungan yang sangat cepat.
3. Menciptakan Operasi Baru dalam Pelayanan Publik. Strategi ini sangat
penting untuk mengantisipasi perubahan tuntutan masyarakat sesuai dengan
perkembangan global. Termasuk dalam strategi ini adalah pembenahan
struktur internal organisasi publik dan proses pemberian pelayanan kepada
masyarakat.
4. Menerapkan Four Proactive Tactics. For proactive tactics meliputi the
stick, the carrot, marketing pull dan high-touch push. Strategi ini digunakan untuk
menumbuhkan motivasi dalam organisasi untuk mengadopsi strategi
pelayanan yang dipakai organisasi.
Sebagai catatan dalam pelaksanaan adopsi strategi pelayanan kita perlu
memperhatikan pentingnya diskresi pada level aparatur yang langsung
berhubungan dengan masyarakat (street level bureaucrac), namun perlu dibatasi
dengan norma-norma sehingga diskresi ini menjadi diskresi yang bertanggung
jawab. Dalam melakukan melakukan berbagai strategi peningkatan pelayanan
seperti tersebut di atas seorang pemimpin harus meluaskan perspektif mereka
tentang makna pelayanan publik. Untuk itu diperlukan kepemimpinan yang
mampu membangun visi bersama (shared-vision). Berikut adalah beberapa
karakteristik pimpinan visioner dalam pelayanan publik
1. Selalu tidak puas, seorang pemimpin yang visioner adalah seorang
pemimpin yang selalu memiliki keinginan untuk melakukan peningkatan.
Seorang pemimpin yang mempertahankan metode lama sama dengan berjalan
ke belakang karena metode tersebut belum tentu sesuai dengan lingkungan
yang selalu berubah.
2. Mampu menciptakan standard terbaik menurut visinya, untuk
mendapatkan kinerja terbaik seorang pemimpin public harus mengembangkan
suatu visi stratejik dalam bidang pelayanan yang mencerminkan budaya,
aspirasi dan nilai-nilai dalam organisasi.
3. Mampu mengorganisir pelaksanaan pelayanan secara efektif, seorang
pemimpin yang visioner mengetahui bahwa sebuah kebijakan dikatakan ketika
kebijakan tersebut dapat dilaksanakan dan mencapai tujuan yang diinginkan.
Pengorganisasian ini berarti bahwa pemimpin harus mampu menggerakkan
secara top-down dan juga struktur organisasi secara horizontal dengan baik.
27
4. Mampu memperkuat hubungan dengan masyarakat, dengan
menggunakan teknologi terbaru untuk memaksimalkan pelayanan secara
online.
5. Memiliki keinginan kuat untuk selalu belajar,baik dari keberhasilan
organisasi lain dalam pelayanan maupun belajar dari kesalahan yang mereka
lakukan.
6. Mampu menciptakan transparansi dan akuntabilitas dalam pelayanan,
termasuk akuntabilitas dan transparansi yang bersifat multiple governmental
organizations.
Karakteristik tersebut merupakan dasar dan sarana dalam membangun
hubungan yang baik dan menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap
pelayanan yang diberikan oleh sektor publik. Atas dasar kredibilitas yang
berakar pada kejujuran, komitmen yang tinggi, dan semangat pengabdian
dalam menjalankan berbagai peran kepemimpinan, diharapkan kepemimpinan
aparatur dapat mewujudkan kinerja yang maksimal dalam mengwujudkan
pelayanan prima. Kita berharap semoga citra pelayanan publik yang selama ini
sering dinilai negatif dapat berubah menjadi lebih baik.
C. Kesimpulan
Kunci kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah adalah terletak pada
kepuasan masyarakat terhadap kualitas pelayanan yang diberikan. Karena itu,
tuntutan terhadap kualitas pelayanan prima merupakan hal yang harus
diupayakan. Perwujudan pelayanan yang berkualitas dapat dilalukan melalui
perubahan visi dan orientasi pelayanan yang lebih berfokus kepada
kepentingan pelanggan. Selain itu, organisasi publik harus memperhatikan
prinsip kerjasama dan partisipasi pegawai didalam organisasi, serta harus
senantiasa melakukan perbaikan secara terus menerus.
Pemimpim dalam berbagai strata piramida suatu organisasi publik harus
memberikan dukungan dan komitmennya kepada bawahan yang selalu
mengabdi atau berdedikasi dalam pemberian pelayanan publik dan dukungan
serta komitmennya kepada para pengguna atau penerima pelayanan publik.
Selain itu. dalam pelayanan publik diperlukan norma antara lain tentang
kebenaran, pemenuhan janji kepada publik, dan adil dalam memberikan
pelayanan.

Penulis :
Prof. A. Aziz Sanapiah, MPA adalah Guru Besar Tetap STIA LAN Jakarta dan
Ketua Jurusan Administrasi Bisnis STIA LAN Jakarta.

Sabtu, 01 Mei 2010

MENGGAGAS KEPEMIMPINAN DI MAJENE (Refleksi Jelang Pilkada Bupati Majene 2011 )

Suksesi kepemimpinan orang nomor satu di Majene memang masih jauh. Butuh setahun lagi bagi bupati yang menjabat untuk menunaikan tugas-tugasnya dalam mengemban amanah rakyat yang dipanggulnya. Namun, hingar bingar itu justru telah riuh rendah terdengar disetiap pelosok dari kota sampai jauh ke pedalaman. Geliat para bakal calon untuk menawarkan visi dan misinya kemasyarakat telah mewarnai bahan obrolan dari warkop yang sederhana hingga gedung-gedung mewah. Beragam atribut sosialisasi bahkan telah diedarkan seperti spanduk, kalender, kartu nama dan sejenisnya. Klaim-klaim keberhasilan pun menjadi rebutan terutama bagi calon yang berasal dari kalangan birokrat yang saat ini masih menjabat. Sedangkan calon lain yang masih berada diluar struktur kekuasaan masih berkutat pada tataran penawaran konsep yang sasaran utamanya adalah isu perubahan. Bahkan aroma persaingan bukan lagi hanya milik sang calon, tetapi merambah kemasyarakat yang sekali lagi harus mengaku konstituen fanatik demi sekedar mendapatkan tempat yang layak disisi bakal calon. Atau dengan kata lain menjadi penjilat kelas bawah....

Memahami konteks kepemimpinan, apalagi di wilayah Majene yang ”katanya” memiliki sekian banyak sejarah dengan bentuk tutur dan versinya yang beragam bukanlah sesuatu yang mudah. Sama halnya dengan daerah lain, ada banyak hal yang harus menjadi pertimbangan sebelum memilih bakal calon siapa yang mesti dan layak diunggulkan.

Bagi saya yang tergolong masyarakat awam, pola kepemimpinan yang paling ideal tentunya harus merujuk pada pola kepemimpinan ala rasul. Paling tidak, Rasulullah sebagai pemimpin dimasa lampau telah membuktikan bahwa kepemimpinan beliau sanggup meruntuhkan hegemoni kaum Quraisy yang pada waktu itu begitu berpengaruh di tanah Makkah. Sosok pemimpin seperti rasulullah adalah sebuah jawaban atas kebuntuan berfikir, bertindak, dan kebuntuan berinovasi yang selama ini menjadi sasaran empuk bahan kritikan bagi penguasa.

Dalam konteks kepemimpinan ala rasul, ada beberapa hal yang harus menjadi renungan kita semua. Pertama, bahwa seorang pemimpin harus bersikap realistis. Konsep dan kebijakannya tidak boleh bertentangan dengan realitas kehidupan. Dengan kata lain program-program yang ditawarkan selalu up to date dan tidak mengawang-awang. Ia memiliki visi yang jauh kedepan namun dapat diterjemahkan dalam konsep praksis yang membumi dan bersifat berkesinambungan. Sebagai daerah yang dikenal minim SDA (walau mesti dikaji ulang), Majene butuh pemimpin yang memiliki konsep pembangunan yang didasarkan pada prinsip-prinsip ekonomis, yaitu efektifitas dan efisiensi. Prinsip ini mengedepankan konsep pembangunan dengan memanfaatkan segala potensi yang ada secara efektif namun dengan tingkat pengeluaran cost yang rendah. Intinya, potensi yang dimiliki oleh Majene dan belum terkelola dengan maksimal harus dipandang sebagai sebuah kekayaan yang dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat. Menjalankan konsep ini memang memerlukan keterlibatan semua pihak termasuk rakyat dan keinginan kuat para stakeholder pemerintahan untuk sedapat mungkin tidak tergiur oleh praktek-praktek pembodohan dan manipulasi terhadap rakyat. Nah, pemimpin yang memahami realitas kehidupan masyarakatnya, tentu akan sadar sepenuhnya apa yang di”butuh”kan oleh masyarakat, tidak hanya terpancing pada apa yang di”inginkan” oleh masyarakat.

Kedua, seorang pemimpin harus yakin dengan kebenaran atas kebijakannya. Dia tidak boleh ragu dengan prinsip-prinsip yang ditawarkan serta kokoh dalam mempertahankan pendiriannya. Ia mesti memiliki karakter yang kuat dalam menelorkan kebijakan namun fleksibel dalam implementasi dilapangan. Ia mesti tahu kapan harus bersikap tegas dan kapan harus melunak dan kapan harus membiarkan atau melindungi. Ia mesti serius dan berwibawa tapi juga rendah hati dan lembut. Amanah, jujur dan adil adalah bunga-bunga yang menghiasi kepemimpinannya. Dalam konteks kepemimpinan yang demikian, Majene membutuhkan pemimpin yang tidak goyah dalam membela kepentingan rakyatnya secara menyeluruh. Apa yang menjadi prinsip dasar hidupnya menjadi prospek bagi dirinya untuk mengabdi sebesar-besarnya untuk memajukan daerah. Prinsip dasar setiap manusia adalah keinginan untuk mendapatkan kehidupan yang layak dan bahagia dunia akhirat harus diejawantahkan dalam proses kepemimpinannya. Dengan demikian akan lahir seorang pemimpin yang berkarakter dan tidak mudah digoyahkan oleh pengaruh-pengaruh negatif yang dihembuskan oleh orang-orang disekelilingnya.

Ketiga, pemimpin harus sadar betul dengan tanggung jawab yang diembannya. Daya tarik kenikmatan duniawi tidak boleh memisahkan hidupnya dari tanggungjawabnya sebagai pemimpin. Contoh kongkrit, seorang pemimpin yang hanya memikirkan membeli mobil dinas baru pada awal masa pemerintahannya harus dipertanyakan integritasnya. Prestasi seorang pemimpin tidak dapat diukur dari mewahnya fasilitas yang melekat dibanding dengan koleganya yang lain. Tak masalah jika memang kekayaan itu melekat jauh sebelum ia menjabat, karena patut dicurigai jika dalam tempo sebulan menjabat seorang kepala bidang saja sudah mampu memarkir mobil dihalaman rumahnya. Seorang pemimpin yang bertanggung jawab, akan memikirkan prestasi kerjanya ketimbang prestise yang disandangnya.

Keempat, Pemimpin harus memiliki wawasan jauh kedepan dalam merumuskan gagasan-gagasan yang baik, dalam istilah kerennya disebut visioner dan futurictic. Pemimpin ini harus mampu mengubah mindset rakyat dan orang-orang disekelilingnya untuk selalu berfikir untuk kemajuan. Disamping itu, kemampuan mentalnya untuk merancang masa depan selalu mengedepankan rasionalisme. Rasional dalam artian, program-program yang ditawarkan memiliki peluang untuk diterapkan pada saatnya diperlukan dan dibutuhkan serta sesuai dengan kemampuannya.

Kelima, memiliki kesediaan untuk memberdayakan orang lain. Ia harus mampu menjawab tantangan kepemimpinan dengan kesediaan untuk memberdayakan orang lain dengan cara mempercayakan sesuatu kepada orang lain untuk melakukan pelayanan terhadap rakyat. Ia tidak menjadikan dirinya sebagai pusat dari segalanya, dan menerapkan kepemimpinannya dengan melakukan apa yang menjadi bagian dari tugas dan tanggung jawabnya saja. Selain itu, tugas-tugas lainnya didistribusikan kepada orang-orang disekelilingnya yang memiliki kompetensi dan kemampuan dalam menjalankan Visi kepemimpinannya.

Secara filosofis, pendapat dari James Mc Gregor dapat dijadikan acuan yang membedakan kepemimpinan pada dua aspek, yaitu kepemimpinan transaksional dan transformasional. Kepemimpinan transaksional merupakan usaha menjalankan proses kepemimpinan sedemikian rupa sehingga sebagian besar pihak terpuaskan. Dengan kata lain menurut Gregor, kepemimpinan merupakan proses bertransaksi sehingga semua merasa untung dan bahagia karena apa yang dikehendaki didapatkan. Dengan cara seperti ini kepemimpinan dipertahankan karena kehadirannya menjaminkan ada transaksi yang paling menguntungkan. Orang seperti ini akan sulit menjadi pemimpin yang melayani dan memberdayakan. Sedangkan kepemimpinan transformasional, adalah kepemimpinan yang menekankan gerak maju perubahan dari setiap pihak dan dari setiap organisasinya. Didalam mengimplementasikan corak kepemimpinan tersebut, bila perlu diambil resiko-resiko konflik atau pertentangan secara terbuka. Corak transaksional dapat pula digunakan namun tidak untuk mendapatkan rasa senang bagi semua pihak, tetapi demi tercapainya perubahan dan perkembangan sebuah komunitas.

Kelima konsep diatas yang saya tawarkan sebagai renungan bagi siapa saja yang bercita-cita menjadi seorang pemimpin kelak. Walaupun pada prinsipnya setiap orang adalah pemimpin minimal bagi dirinya sendiri. Tapi paling tidak, prinsip-prinsip tersebut dapat diimplementasikan sebagai sebuah tanggung jawab terhadap rakyat dan terhadap Tuhan. Kata kuncinya setiap pemimpian harus memiliki integritas, loyalitas, kapabilitas/kompetensi dan akhlakul karimah. (wallahu a’lam bissawab)

MENGGAGAS KEPEMIMPINAN DI MAJENE (Refleksi Jelang Pilkada Bupati Majene 2011 )

Suksesi kepemimpinan orang nomor satu di Majene memang masih jauh. Butuh setahun lagi bagi bupati yang menjabat untuk menunaikan tugas-tugasnya dalam mengemban amanah rakyat yang dipanggulnya. Namun, hingar bingar itu justru telah riuh rendah terdengar disetiap pelosok dari kota sampai jauh ke pedalaman. Geliat para bakal calon untuk menawarkan visi dan misinya kemasyarakat telah mewarnai bahan obrolan dari warkop yang sederhana hingga gedung-gedung mewah. Beragam atribut sosialisasi bahkan telah diedarkan seperti spanduk, kalender, kartu nama dan sejenisnya. Klaim-klaim keberhasilan pun menjadi rebutan terutama bagi calon yang berasal dari kalangan birokrat yang saat ini masih menjabat. Sedangkan calon lain yang masih berada diluar struktur kekuasaan masih berkutat pada tataran penawaran konsep yang sasaran utamanya adalah isu perubahan. Bahkan aroma persaingan bukan lagi hanya milik sang calon, tetapi merambah kemasyarakat yang sekali lagi harus mengaku konstituen fanatik demi sekedar mendapatkan tempat yang layak disisi bakal calon. Atau dengan kata lain menjadi penjilat kelas bawah....

Memahami konteks kepemimpinan, apalagi di wilayah Majene yang ”katanya” memiliki sekian banyak sejarah dengan bentuk tutur dan versinya yang beragam bukanlah sesuatu yang mudah. Sama halnya dengan daerah lain, ada banyak hal yang harus menjadi pertimbangan sebelum memilih bakal calon siapa yang mesti dan layak diunggulkan.

Bagi saya yang tergolong masyarakat awam, pola kepemimpinan yang paling ideal tentunya harus merujuk pada pola kepemimpinan ala rasul. Paling tidak, Rasulullah sebagai pemimpin dimasa lampau telah membuktikan bahwa kepemimpinan beliau sanggup meruntuhkan hegemoni kaum Quraisy yang pada waktu itu begitu berpengaruh di tanah Makkah. Sosok pemimpin seperti rasulullah adalah sebuah jawaban atas kebuntuan berfikir, bertindak, dan kebuntuan berinovasi yang selama ini menjadi sasaran empuk bahan kritikan bagi penguasa.

Dalam konteks kepemimpinan ala rasul, ada beberapa hal yang harus menjadi renungan kita semua. Pertama, bahwa seorang pemimpin harus bersikap realistis. Konsep dan kebijakannya tidak boleh bertentangan dengan realitas kehidupan. Dengan kata lain program-program yang ditawarkan selalu up to date dan tidak mengawang-awang. Ia memiliki visi yang jauh kedepan namun dapat diterjemahkan dalam konsep praksis yang membumi dan bersifat berkesinambungan. Sebagai daerah yang dikenal minim SDA (walau mesti dikaji ulang), Majene butuh pemimpin yang memiliki konsep pembangunan yang didasarkan pada prinsip-prinsip ekonomis, yaitu efektifitas dan efisiensi. Prinsip ini mengedepankan konsep pembangunan dengan memanfaatkan segala potensi yang ada secara efektif namun dengan tingkat pengeluaran cost yang rendah. Intinya, potensi yang dimiliki oleh Majene dan belum terkelola dengan maksimal harus dipandang sebagai sebuah kekayaan yang dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat. Menjalankan konsep ini memang memerlukan keterlibatan semua pihak termasuk rakyat dan keinginan kuat para stakeholder pemerintahan untuk sedapat mungkin tidak tergiur oleh praktek-praktek pembodohan dan manipulasi terhadap rakyat. Nah, pemimpin yang memahami realitas kehidupan masyarakatnya, tentu akan sadar sepenuhnya apa yang di”butuh”kan oleh masyarakat, tidak hanya terpancing pada apa yang di”inginkan” oleh masyarakat.

Kedua, seorang pemimpin harus yakin dengan kebenaran atas kebijakannya. Dia tidak boleh ragu dengan prinsip-prinsip yang ditawarkan serta kokoh dalam mempertahankan pendiriannya. Ia mesti memiliki karakter yang kuat dalam menelorkan kebijakan namun fleksibel dalam implementasi dilapangan. Ia mesti tahu kapan harus bersikap tegas dan kapan harus melunak dan kapan harus membiarkan atau melindungi. Ia mesti serius dan berwibawa tapi juga rendah hati dan lembut. Amanah, jujur dan adil adalah bunga-bunga yang menghiasi kepemimpinannya. Dalam konteks kepemimpinan yang demikian, Majene membutuhkan pemimpin yang tidak goyah dalam membela kepentingan rakyatnya secara menyeluruh. Apa yang menjadi prinsip dasar hidupnya menjadi prospek bagi dirinya untuk mengabdi sebesar-besarnya untuk memajukan daerah. Prinsip dasar setiap manusia adalah keinginan untuk mendapatkan kehidupan yang layak dan bahagia dunia akhirat harus diejawantahkan dalam proses kepemimpinannya. Dengan demikian akan lahir seorang pemimpin yang berkarakter dan tidak mudah digoyahkan oleh pengaruh-pengaruh negatif yang dihembuskan oleh orang-orang disekelilingnya.

Ketiga, pemimpin harus sadar betul dengan tanggung jawab yang diembannya. Daya tarik kenikmatan duniawi tidak boleh memisahkan hidupnya dari tanggungjawabnya sebagai pemimpin. Contoh kongkrit, seorang pemimpin yang hanya memikirkan membeli mobil dinas baru pada awal masa pemerintahannya harus dipertanyakan integritasnya. Prestasi seorang pemimpin tidak dapat diukur dari mewahnya fasilitas yang melekat dibanding dengan koleganya yang lain. Tak masalah jika memang kekayaan itu melekat jauh sebelum ia menjabat, karena patut dicurigai jika dalam tempo sebulan menjabat seorang kepala bidang saja sudah mampu memarkir mobil dihalaman rumahnya. Seorang pemimpin yang bertanggung jawab, akan memikirkan prestasi kerjanya ketimbang prestise yang disandangnya.

Keempat, Pemimpin harus memiliki wawasan jauh kedepan dalam merumuskan gagasan-gagasan yang baik, dalam istilah kerennya disebut visioner dan futurictic. Pemimpin ini harus mampu mengubah mindset rakyat dan orang-orang disekelilingnya untuk selalu berfikir untuk kemajuan. Disamping itu, kemampuan mentalnya untuk merancang masa depan selalu mengedepankan rasionalisme. Rasional dalam artian, program-program yang ditawarkan memiliki peluang untuk diterapkan pada saatnya diperlukan dan dibutuhkan serta sesuai dengan kemampuannya.

Kelima, memiliki kesediaan untuk memberdayakan orang lain. Ia harus mampu menjawab tantangan kepemimpinan dengan kesediaan untuk memberdayakan orang lain dengan cara mempercayakan sesuatu kepada orang lain untuk melakukan pelayanan terhadap rakyat. Ia tidak menjadikan dirinya sebagai pusat dari segalanya, dan menerapkan kepemimpinannya dengan melakukan apa yang menjadi bagian dari tugas dan tanggung jawabnya saja. Selain itu, tugas-tugas lainnya didistribusikan kepada orang-orang disekelilingnya yang memiliki kompetensi dan kemampuan dalam menjalankan Visi kepemimpinannya.

Secara filosofis, pendapat dari James Mc Gregor dapat dijadikan acuan yang membedakan kepemimpinan pada dua aspek, yaitu kepemimpinan transaksional dan transformasional. Kepemimpinan transaksional merupakan usaha menjalankan proses kepemimpinan sedemikian rupa sehingga sebagian besar pihak terpuaskan. Dengan kata lain menurut Gregor, kepemimpinan merupakan proses bertransaksi sehingga semua merasa untung dan bahagia karena apa yang dikehendaki didapatkan. Dengan cara seperti ini kepemimpinan dipertahankan karena kehadirannya menjaminkan ada transaksi yang paling menguntungkan. Orang seperti ini akan sulit menjadi pemimpin yang melayani dan memberdayakan. Sedangkan kepemimpinan transformasional, adalah kepemimpinan yang menekankan gerak maju perubahan dari setiap pihak dan dari setiap organisasinya. Didalam mengimplementasikan corak kepemimpinan tersebut, bila perlu diambil resiko-resiko konflik atau pertentangan secara terbuka. Corak transaksional dapat pula digunakan namun tidak untuk mendapatkan rasa senang bagi semua pihak, tetapi demi tercapainya perubahan dan perkembangan sebuah komunitas.

Kelima konsep diatas yang saya tawarkan sebagai renungan bagi siapa saja yang bercita-cita menjadi seorang pemimpin kelak. Walaupun pada prinsipnya setiap orang adalah pemimpin minimal bagi dirinya sendiri. Tapi paling tidak, prinsip-prinsip tersebut dapat diimplementasikan sebagai sebuah tanggung jawab terhadap rakyat dan terhadap Tuhan. Kata kuncinya setiap pemimpian harus memiliki integritas, loyalitas, kapabilitas/kompetensi dan akhlakul karimah. (wallahu a’lam bissawab)

IMPLEMENTASI PANCASILA DAPAT MENCEGAH DISINTEGRASI NASIONAL

PENDAHULUAN

1. Umum.
Orde baru yang dibangun oleh Soeharto merupakan koreksi terhadap orde lama yang melenceng dari Pancasila dan UUD 1945 yang ingin menerapkan ide NASAKOM (Nasionalis, Agama, dan Komunis) oleh Soekarno. Peristiwa G 30 S PKI akhirnya membuat Sukarno turun dari kekuasaan presiden dan ide NASAKOM-nya kemudian tenggelam. Orde lama selanjutnya digantikan oleh orde baru yang bertekad untuk kembali kepada Pancasila dan UUD 1945 serta menjalankannya secara murni dan konsekuen. Tetapi akhirnya orde baru juga tidak sesuai dengan harapan masyarakat dan bangsa Indonesia, sehingga orde baru harus direformasi karena Soeharto sebagai presiden yang berkuasa selama orde baru yang berlangsung 30 tahunan menjalankan kekuasaan kepresidenan bersifat sentralistik dan militeristik.
Sejak reformasi bergulir dan disertai tumbangnya rezim orde baru tahun 1998, mulai terjadi perubahan politik dan sistem kenegaraan, serta perubahan-perubahan di bidang lainnya yang sebelumnya tidak terbayangkan dapat terjadi. Sayangnya reformasi tidak mudah untuk dijalankan dan reformasi ternyata juga menimbulkan ekses yang negatif bagi perkembangan bangsa. Ekses tersebut sampai kepada munculnya ancaman terhadap persatuan dan kesatuan bangsa yang ditandai dengan memudarnya etika moral kehidupan berbangsa. Hal itu tampak dengan adanya konflik sosial yang berkepanjangan, berkurangnya sopan santun dan budi pekerti yang luhur dalam pergaulan sosial, melemahnya kejujuran dan sikap amanah terhadap ketentuan hukum dan peraturan, munculnya kecenderungan primordialisme: fanatik etnik, agama, kedaerahan yang bertentangan dengan paham kebangsaan. Lebih memprihatinkan lagi di tingkat elit politik saling berebut kekuasaan yang cenderung demi kepentingan partai dan golongannya.
Kenyataan yang berkembang di masyarakat adalah cara pandang terhadap wawasan kebangsaan yang hampir meluntur dan mencapai titik terendah pada diri anak bangsa. Ikatan nilai-nilai kebangsaan yang pernah terpatri kuat dalam kehidupan bangsa, rasa cinta tanah air, bela Negara dan semangat patriotismebangsa mulai luntur, longgar bahkan hamper sirna. Nilai budaya gotong royong, kesediaan untuk saling menghargai dan saling menghormati perbedaan serta kerelaan berkorban untuk kepentingan bangsa yang dulu melekat kuat dalam sanubari masyarakat kini semakin menipis.
Kenyataan-kenyataan di atas merupakan akibat dari ditinggalkannya penerapan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Masyarakat sepertinya alergi bila mendengar kata Pancasila sejak terjadinya reformasi. Hal ini terjadi karena ada pandangan Pancasila pada saat orde baru hanya dimanfaatkan oleh penguasa untuk kepentingan kelanggengan kekuasaannya. Sehingga pada saat itu nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila diimplementasikan hanya secara normatif dan teoritis serta belum benar-benar diamalkan dengan baik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila dalam sistem kenegaraan menjadi multi tafsir dan cenderung untuk kepentingan penguasa. Oleh karena itu ketika orde baru jatuh, maka Pancasila juga mulai ditinggalkan.
Sejarah implementasi Pancasila memang tidak menunjukkan garis lurus, bukan dalam pengertian keabsahan substansialnya, tapi dalam konteks implementasinya. Tantangan terhadap Pancasila sebagai kristalisasi pandangan politik berbangsa dan bernegara bukan hanya berasal dari faktor domestik, tetapi juga internasional. Banyak ideologi-ideologi mancanegara yang turut bertarung di Indonesia. Kini gelombang demokratisasi, hak asasi manusia, neo-liberalisme, serta neo-konservatisme dan globalisme bahkan telah memasuki cara pandang dan cara berpikir masyarakat Indonesia. Hal demikian bisa meminggirkan Pancasila dan bisa menghadirkan sistem nilai dan idealisme baru yang bertentangan dengan kepribadian bangsa. Dalam suasana demikian, bisa saja solidaritas global menggeser kesetiaan nasional. Internasionalisme menggeser nasionalisme.
Kini bangsa Indonesia harus kembali kepada nilai-nilai Pancasila yang sangat istimewa agar tidak terjadi disintegrasi bangsa. Terbentuknya negara yang dinamakan Indonesia tahun 1945 oleh karena kesadaran dan kesepakatan bangsa untuk mendasarkan diri kepada Pancasila. Dengan Pancasila, persatuan dan kesatuan bangsa dari Sabang sampai Meraoke tetap akan utuh dan apa yang dinamakan negara dan bangsa Indonesia akan tetap ada.
Untuk kepentingan hal tersebut, maka dibutuhkan upaya sungguh-sungguh untuk peningkatan persatuan dan kesatuan bangsa. Dengan demikian, bangsa ini dapat mengembangkan keharmonisan dan kemandiriannya demi mencapai kemajuan bangsa, antara lain perlu implementasi kembali nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.


PEMBAHASAN

2. Implementasi Pancasila dalam sejarah.
Setelah bangsa Indonesia berhasil merebut kedaulatan dan berhasil mendirikan negara merdeka, perjuangan belum selesai. Perjuangan malah bias dikatakan baru mulai, yaitu upaya menciptakan masyarakat yang sejahtera lahir batin, sebagaimana diamanatkan oleh Pembukaan UUD 1945. Para pendiri Negara (the founding father) telah sepakat bahwa kemerdekaan bangsa akan diisi nilai-nilai yang telah ada dalam budaya bangsa, kemudian disebut nilai-nilai Pancasila.
Pancasila mulai dibicarakan sebagai dasar negara mulai tanggal 1 Juni 1945 dalam sidang BPPK oleh Ir. Soekarno dan pada tanggal 18 Agustus 1945 Pancasila resmi dan sah menurut hukum menjadi dasar negara Republik Indonesia. Kemudian mulai Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 berhubungan dengan Ketetapan No. I/MPR/1988 No. I/MPR/1993, Pancasila tetap menjadi dasar falsafah Negara Indonesia hingga sekarang.
Akibat hukum dari disahkannya Pancasila sebagai dasar negara, maka seluruh kehidupan bernegara dan bermasyarakat haruslah didasari oleh Pancasila. Landasan hukum Pancasila sebagai dasar negara memberi akibat hukum dan filosofis; yaitu kehidupan negara dari bangsa ini haruslah berpedoman kepada Pancasila. Bagaimana sebetulnya implementasi Pancasila dalam sejarah Indonesia selama ini dan pentingnya upaya untuk mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila yang setelah reformasi mulai ditinggalkan demi tegaknya persatuan dan kesatuan NKRI.
Penetapan Pancasila sebagai dasar negara dapat dikatakan mulai pada masa orde lama, tanggal 18 Agustus 1945 sehari setelah Indonesia baru memproklamirkan diri kemerdekaannya. Apalagi Soekarno akhirnya menjadi presiden yang pertama Republik Indonesia.
Walaupun baru ditetapkan pada tahun 1945, sesungguhnya nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila disarikan dan digali dari nilai-nilai budaya yang telah ada dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Pencetus dan penggali Pancasila yang pertama adalah Soekarno sendiri. Sebagai tokoh nasional yang paling berpengaruh pada saat itu, memilih sila-sila yang berjumlah 5 (lima) yang kemudian dinamakan Pancasila dengan pertimbangan utama demi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia dari Sabang sampai Meraoke.
Pancasila yang merupakan dasar dan ideologi negara dan bangsa wajib diimplementasikan dalam seluruh aspek kehidupan bernegara. Dalam mewujudkan Pancasila melalui kebijakan ternyata tidaklah mulus, karena sangat dipengaruhi oleh pimpinan yang menguasai negara, sehingga pengisian kemerdekaan dengan nilai-nilai Pancasila menampilkan bentuk dan diri tertentu.

a. Masa Orde Lama.
Pada masa Orde lama, Pancasila dipahami berdasarkan paradigma yang berkembang pada situasi dunia yang diliputi oleh tajamnya konflik ideologi. Pada saat itu kondisi politik dan keamanan dalam negeri diliputi oleh kekacauan dan kondisi sosial-budaya berada dalam suasana transisional dari masyarakat terjajah (inlander) menjadi masyarakat merdeka. Masa orde lama adalah masa pencarian bentuk implementasi Pancasila terutama dalam sistem kenegaraan. Pancasila diimplementasikan dalam bentuk yang berbeda-beda pada masa orde lama. Terdapat 3 periode implementasi Pancasila yang berbeda, yaitu periode 1945-1950, periode 1950-1959, dan peride 1959-1966.
Pada periode 1945-1950, implementasi Pancasila bukan saja menjadi masalah, tetapi lebih dari itu ada upaya-upaya untuk mengganti Pancasila sebagai dasar negara dengan faham komunis oleh PKI melalui pemberontakan di Madiun tahun 1948 dan oleh DI/TII yang akan mendirikan negara dengan dasar islam. Pada periode ini, nilai persatuan dan kesatuan masih tinggi ketika menghadapi Belanda yang masih ingin mempertahankan penjajahannya di bumi Indonesia. Namun setelah penjajah dapat diusir, persatuan mulai mendapat tantangan. Dalam kehidupan politik, sila keempat yang mengutamakan musyawarah dan mufakat tidak dapat dilaksanakan, sebab demokrasi yang diterapkan adalah demokrasi parlementer, dimana presiden hanya berfungsi sebagai kepala negara, sedang kepala pemerintahan dipegang oleh Perdana Menteri. Sistem ini menyebabkan tidak adanya stabilitas pemerintahan. Kesimpulannya walaupun konstitusi yang digunakan adalah Pancasila dan UUD 1945 yang presidensiil, namun dalam praktek kenegaraan system presidensiil tak dapat diwujudkan.
Pada periode 1950-1959, walaupun dasar negara tetap Pancasila, tetapi rumusan sila keempat bukan berjiwakan musyawarah mufakat, melainkan suara terbanyak (voting). Sistem pemerintahannya yang liberal sehingga lebih menekankan hak-hak individual. Pada periode ini persatuan dan kesatuan mendapat tantangan yang berat dengan munculnya pemberontakan RMS, PRRI, dan Permesta yang ingin melepaskan diri dari NKRI. Dalam bidang politik, demokrasi berjalan lebih baik dengan terlaksananya pemilu 1955 yang dianggap paling demokratis. Tetapi anggota Konstituante hasil pemilu tidak dapat menyusun UUD seperti yang diharapkan. Hal ini menimbulkan krisis politik, ekonomi, dan keamanan, yang menyebabkan pemerintah mengeluarkan Dekrit Presiden 1959 untuk membubarkan Konstituante, UUD 1950 tidak berlaku, dan kembali kepada UUD 1945. Kesimpulan yang ditarik dari penerapan Pancasila selama periode ini adalah Pancasila diarahkan sebagai ideology liberal yang ternyata tidak menjamin stabilitas pemerintahan.
Pada periode 1956-1965, dikenal sebagai periode demokrasi terpimpin. Demokrasi bukan berada pada kekuasaan rakyat sehingga yang memimpin adalah nilai-nilai Pancasila tetapi berada pada kekuasaan pribadi presiden Soekarno. Terjadilah berbagai penyimpangan penafsiran terhadap Pancasila dalam konstitusi. Akibatnya Soekarno menjadi otoriter, diangkat menjadi presiden seumur hidup, politik konfrontasi, menggabungkan Nasionalis, Agama, dan Komunis, yang ternyata tidak cocok bagi NKRI. Terbukti adanya kemerosotan moral di sebagian masyarakat yang tidak lagi hidup bersendikan nilai-nilai Pancasila, dan berusaha untuk menggantikan Pancasila dengan ideologi lain. Dalam mengimplentasikan Pancasila, Bung Karno melakukan pemahaman Pancasila dengan paradigma yang disebut USDEK. Untuk memberi arah perjalanan bangsa, beliau menekankan pentingnya memegang teguh UUD 45, sosialisme ala Indonesia, demokrasi terpimpin, ekonomi terpimpin dan kepribadian nasional. Hasilnya terjadi kudeta PKI dan kondisi ekonomi yang memprihatinkan. Walaupun posisi Indonesia tetap dihormati di dunia internasional dan integritas wilayah serta semangat kebangsaan dapat ditegakkan. Kesimpulan yang ditarik adalah Pancasila telah diarahkan sebagai ideology otoriter, konfrotatif dan tidak member ruang pada demokrasi bagi rakyat.

b. Masa Orde Baru.
Orde baru berkehendak ingin melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen sebagai kritik terhadap orde lama yang telah menyimpang dari Pancasila. Situasi internasional kala itu masih diliputi konflik perang dingin. Situasi politik dan keamanan dalam negeri kacau dan ekonomi hampir bangkrut. Indonesia dihadapkan pada pilihan yang sulit, memberikan sandang dan pangan kepada rakyat atau mengedepankan kepentingan strategi dan politik di arena internasional seperti yang dilakukan oleh Soekarno.
Dilihat dari konteks zaman, upaya Soeharto tentang Pancasila, diliputi oleh paradigma yang esensinya adalah bagaimana menegakkan stabilitas guna mendukung rehabilitasi dan pembangunan ekonomi. Istilah terkenal pada saat itu adalah stabilitas politik yang dinamis diikuti dengan trilogi pembangunan. Perincian pemahaman Pancasila itu sebagaimana yang kita lihat dalam konsep P4 dengan esensi selaras, serasi dan seimbang. Soeharto melakukan ijtihad politik dengan melakukan pemahaman Pancasila melalui apa yang disebut dengan P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) atau Ekaprasetia Pancakarsa. Itu tentu saja didasarkan pada pengalaman era sebelumnya dan situasi baru yang dihadapi bangsa.
Pada awalnya memang memberi angin segar dalam pengamalan Pancasila, namun beberapa tahun kemudian kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan ternyata tidak sesuai dengan jiwa Pancasila. Walaupun terjadi peningkatan kesejahteraan rakyat dan penghormatan dari dunia internasional, Tapi kondisi politik dan keamanan dalam negeri tetap rentan, karena pemerintahan sentralistik dan otoritarian. Pancasila ditafsirkan sesuai kepentingan kekuasaan pemerintah dan tertutup bagi tafsiran lain. Demokratisasi akhirnya tidak berjalan, dan pelanggaran HAM terjadi dimana-mana yang dilakukan oleh aparat pemerintah atau negara. Pancasila seringkali digunakan sebagai legimitator tindakan yang menyimpang. Ia dikeramatkan sebagai alasan untuk stabilitas nasional daripada sebagai ideologi yang memberikan ruang kebebasan untuk berkreasi. Kesimpulan, Pancasila selama Orde Baru diarahkan menjadi ideology yang hanya menguntungkan satu golongan, yaitu loyalitas tunggal pada pemerintah dan demi persatuan dan kesatuan hak-hak demokrasi dikekang.

3. Melemahnya nilai-nilai Pancasila dalam masyarakat.
Seperti juga Orde Baru yang muncul dari koreksi terhadap Orde Lama, kini Orde Reformasi, jika boleh dikatakan demikian, merupakan orde yang juga berupaya mengoreksi penyelewengan yang dilakukan oleh Orde Baru. Hak-hak rakyat mulai dikembangkan dalam tataran elit maupun dalam tataran rakyat bawah. Rakyat bebas untuk berserikat dan berkumpul dengan mendirikan partai politik, LSM, dan lain-lain. Penegakan hukum sudah mulai lebih baik daripada masa Orba. Namun, sangat disayangkan para elit politik yang mengendalikan pemerintahan dan kebijakan kurang konsisten dalam penegakan hukum. Dalam bidang sosial budaya, disatu sisi kebebasan berbicara, bersikap, dan bertindak amat memacu kreativitas masyarakat. Namun, di sisi lain justru menimbulkan semangat primordialisme. Benturan antar suku, antar umat beragama, antar kelompok, dan antar daerah terjadi dimana-mana. Kriminalitas meningkat dan pengerahan masa menjadi cara untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang berpotensi tindakan kekerasan.
Kondisi nyata saat ini yang dihadapi adalah munculnya ego kedaerahan dan primordialisme sempit, munculnya indikasi tersebut sebagai salah satu gambaran menurunnya pemahaman tentang Pancasila sebagai suatu ideologi, dasar filsafati negara, azas, paham negara. Padahal seperti diketahui Pancasila sebagai sistem yang terdiri dari lima sila ( sikap/prinsip/pandangan hidup) dan merupakan suatu keutuhan yang saling menjiwai dan dijiwai itu digali dari kepribadian bangsa Indonesia yang majemuk bermacam etnis/suku bangsa, agama dan budaya yang bersumpah menjadi satu bangsa, satu tanah air dan satu bahasa persatuan, sesuai dengan sesanti Bhineka Tunggal Ika. Menurunnya rasa persatuan dan kesatuan diantara sesama warga bangsa saat ini adalah yang ditandai dengan adanya konflik dibeberapa daerah, baik konflik horizontal maupun konflik vertikal, seperti halnya yang masih terjadi di Papua,Maluku. Berbagai konflik yang terjadi dan telah banyak menelan korban jiwa antar sesama warga bangsa dalam kehidupan masyarakat, seolah-olah wawasan kebangsaan yang dilandasi oleh nilai-nilai Pancasila yang lebih mengutamakan kerukunan telah hilang dari kehidupan masyarakat Indonesia.
Orde Reformasi yang baru berjalan beberapa tahun telah memiliki empat Presiden. Pergantian presiden sebelum waktunya karena berbagai masalah. Pada era Habibie, Abdurrahman Wahid, dan Megawati Soekarno Putri, Pancasila secara formal tetap dianggap sebagai dasar dan ideologi negara, tapi hanya sebatas pada retorika pernyataan politik. Ditambah lagi arus globalisasi dan arus demokratisasi sedemikian kerasnya, sehingga aktivis-aktivis prodemokrasi tidak tertarik merespons ajakan dari siapapun yang berusaha mengutamakan pentingnya Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara. Ideologi negara yang seharusnya menjadi acuan dan landasan seluruh elemen bangsa Indonesia khususnya para negarawan dan para politisi serta pelaku ekonomi dalam berpartisipasi membangun negara, justru menjadi kabur dan terpinggirkan. Hasilnya NKRI mendapat tantangan yang berat. Timor-Timur yang telah lama bergabung dalam NKRI melalui perjuangan dan pengorbanan lepas dengan sekejap pada masa reformasi tersebut. Daerah-daerah lain juga mengancam akan berdiri sendiri bila tuntutannya tidak dipenuhi oleh pemerintah pusat. Tidak segan-segan, sebagian masyarakat menerima aliran dana asing dan rela mengorbankan kepentingan bangsanya sebagai imbalan dolar. Dalam bahasa intelijen kita mengalami apa yang dikenal dengan ”subversi asing”, yakni kita saling menghancurkan negara sendiri karena campur tangan secara halus pihak asing. Di dalam pendidikan formal, Pancasila tidak lagi diajarkan sebagai pelajaran wajib.

4. Mencegah Disintegrasi Nasional.
Apabila pemahaman Pancasila sebagai ideologi negara tidak ditingkatkan dan tidak diimplementasikan, maka akan dapat terjadi fenomena sebagai berikut :
a. Pembuatan peraturan perundang-undangan tidak memperhatikan keterkaitannya dangan nilai dasar Pancasila, sehinga terjadi tari menarik antar pihak yang berkepentingan sesuai organisasinya, dan tidak lagi berorientasi kepada kepentingan bangsa dan negara.
b. Masuknya subtansi budaya asing yang tidak sesuai dengan budaya bangsa kedalam berbagai aturan atau perundang-undangan nasional, tanpa memperhatikan nilai-nilai dasar Pancasila.
c. Kendornya nilai-nilai kekeluargaan, semangat gotong royong, tenggang rasa, norma susila, kesopanan dan adat istiadat bangsa..
d. Munculnya sikap primordialisme, dimana sikap ini berwawasan sempit dan isolatif serta hanya mengutamakan kepentingan asal usul kelompoknya saja, seperti dinasti, ras, suku, golongan, daerah dan agama, yang sangat bertentangan dengan Pancasila.
Semua hal-hal tersebut diatas akan dapat mengurangi ketangguhan bangsa Indonesia dalam membangun masyarakat. Bangsa dan negara sesehingga dapat memecah belah keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Siapapun yang menjadi pemimpin pada saat ini pasti akan menghadapi atau menerima situasi yang sangat sulit dalam menata bangsa ini. Sudah menjadi kewajiban semua komponen bangsa ini untuk membantu para pemimpin bangsa ini dengan melakukan upaya politik tentang Pancasila.
Pembangunan politik, keamanan, ekonomi, sosial, budaya, dan beragama harus didasarkan pada pemahaman terhadap Pancasila sesuai dengan situasi yang sedang berjalan. Rezim dalam suatu orde yang sedang berkuasa, cenderung menganggap tidak baik, menyingkirkan, bahkan menghancurkan apa saja yang berbau orde sebelumnya. Kini, mulai ada yang mempertanyakan Pancasila sebagai dasar sistem kenegaraan setelah Indonesia dalam kondisi terpuruk sekarang ini. Sementara itu proses implementasi Pancasila sekarang ini belum tergarap serius dan terumuskan secara konseptual.
Sebenarnya, dalam hal sikap konsistennya terhadap falsafah bangsa dan ideologi negara, pemerintahan Soekarno dan pemerintahan Soeharto memiliki kemiripan. Pancasila adalah pilihan satu-satunya yang dianggap ideal. Bedanya, dalam pemerintahan Soekarno yang diperingati tiap 1 Juni adalah hari kelahirannya. Dalam pemerintahan Soeharto yang diperingati adalah hari kesaktiannya, tiap 1 Oktober. Keduanya merupakan manifestasi sikap konsisten tersebut.
Proses implementasi dalam kedua masa orde tersebut memiliki kemiripan. Dalam era dua pemerintahan itu telah lahir kader-kader bangsa yang meyakini peran Pancasila sebagai bingkai kebangsaan dan perekat identitas nasional lewat proses pendidikan dan pelatihan. Proses inilah yang kemudian dianggap indoktrinatif dan sloganistik oleh generasi penerusnya.
Jika demikian persoalannya, bukan sistem kenegaraan yang berdasarkan Pancasila yang harus diganti, tetapi proses yang dianggap indoktrinatif dan sloganistik itu yang harus dibenahi. Namun, harus diingat, proses implementasi dan pensosialisasian suatu falsafah bangsa dan ideologi negara tidak sama sebangun dengan proses pembelajaran mata pelajaran di sekolah, dan tidak cukup hanya lewat proses pendidikan formal. Falsafah bangsa dan ideologi negara juga harus dipahami dalam konteks kebangsaan. Itu berarti Pancasila sebagai dasar sistem kenegaraan, harus dipahami perannya sebagai bingkai pluralitas dan modal utama integrasi nasional. Pemahaman ini harus ikut mewarnai proses implementasi dan pensosialisasian yang diterapkan.
Bukan mustahil berkat pemahaman seperti itulah pemerintah Soekarno maupun pemerintah Soeharto menerapkan cara-cara yang mirip, suatu cara yang kemudian dianggap indoktrinatif dan sloganistik. Tidak selalu rezim yang tergulingkan, semuanya selalu jelek dan harus disingkirkan. Tidakkah harus disingkap problem yang ada, masalah kulit luar atau persoalan isi, soal prinsip atau masalah teknis. Tidak semua cacat dan borok pemerintahan terdahulu hanya akibat proses implementasi dan pensosialisasian Pancasila yang mereka terapkan.
Perumusan cara implementasi dan pensosialisasian yang akan diterapkan terasa sangat mendesak sekarang ini. Pancasila harus menjadi bingkai kebangsaan dan perekat identitas nasional sebagai daya ketahanan kita dalam era global. Tanpa ketahanan kokoh, bangsa Indonesia bukan hanya tidak mampu bersaing, tetapi juga terlempar dari percaturan global.
Di dalam negeri tantangannya juga tidak kalah besar. Kecenderungan warga bangsa ini yang menatap persoalan lewat kacamata sempit, kacamata kedaerahan atau agama sendiri, misalnya, merupakan kendala segera terwujudnya Pancasila sebagai bingkai kebangsaan dan perekat identitas nasional. Guna merumuskan proses implementasi falsafah bangsa dan ideologi negara, kita bisa belajar dari para pendahulu kita. Yang baik dikembangkan, yang buruk ditinggalkan. Kehadiran rumusan itu sudah sangat mendesak. Beberapa hal yang penting diperhatikan didalam upaya implementasi Pancasila adalah, sebagai berikut:

a. Meningkatkan kewaspadaan terhadap bahaya laten.
Di era reformasi, masyarakat cenderung kurang peka dan peduli terhadap ancaman ideologi bangsa, karena mereka lebih mementingkan kebutuhan ekonomi dan mengatasi kesulitan hidup sehari-hari. Selain itu, berkembang kecendrungan menafsirkan reformasi, dengan segala macam dapat diperbolehkan, termasuk yang ekstrim mengembangkan ideologi liberal dan komunis dianggap sah-sah saja. Kondisi seperti ini perlu mendapatkan penegasan aparatur pemerintah, karena bila hal tersebut berkembang, maka kewaspadaan masyarakat terhadap ancaman ideologi liberal dan ideologi komunis serta ideologi lain yang bertentangan dengan Pancasila akan menurun. Oleh karena itu, perlu langkah-langkah strategi dengan induksi yudikatif, sosialisme untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan ancaman Pancasila dan bahaya laten komunis.

b. Merumuskan Kebijaksanaan Pemerintah tentang implementasi Pancasila.
Seminar Nasional HUT Lemhanas tahun 2003, telah menyepakati bahwa kita perlu mereformasi kepemimpinan (leadership) dan meningkatkan wawasan kebangsaan untuk mengatasi permasalahan bangsa. Kelemahan sistem nilai inilah yang menyebabkan lemahnya kondisi antar lembaga instansi dan ORMAS/ORPOL dalam upaya memasyarakatkan dan menanamkan ideologi Pancasila di masyarakat. Oleh karenanya diperlukan kebijakan dari instansi yang berwenang, sehingga dapat mendorong upaya sosialisasi Pancasila di bidang pendidikan dan gerakan untuk menyadarkan masyarakat tentang pentingnya ideologi Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa serta bernegara.
Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara tidak perlu dipersoalkan, sedangkan yang harus menjadi ijtihad politik hanya sebatas pada upaya mencari kesepakatan tentang paradigma yang akan digunakan untuk memahaminya. Pada masa Orde Lama, Bung Karno memahami Pancasila dengan USDEK dan pada masa Orde Baru, Soeharto memahaminya dengan P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Pada masa Orde Reformasi sekarang belum ada pengganti paradigma untuk memahami Pancasila seperti pada masa orde sebelumnya.

c. Meningkatkan keteladanan pemimpin dalam implementasi Pancasila.
Maraknya KKN (Korupsi, kolusi dan nepotisme) yang telah merusak sendi-sendi kehidupan bangsa merupakan salah satu faktor yang menghambat pemulihan krisis multi dimensional bangsa Indonesia. Untuk itu perlu, mencari solusi yang tepat untuk mengatasi segala permasalahan bangsa. Salah satu alternatif mendorong terampilinya kader pemimpin yang berani tampil sebagai teladan bagi masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Keteladanan para pemimpin, terutama para pemimpin yang sekaligus sebagai penyelenggara negara, akan berdampak positif pada upaya untuk mengurangi KKN. Hanya pemimpin yang bermoral dan etika yang tinggi, yang mampu tapil sebagai teladan. Oleh karenaya, perlu upaya penanaman dan pengembangan etika dan moral bagi pelajar, pemuda dan mahasiswa sebagai kader kepemimpinan nasional dimasa depan. Disisi lain, keteladanan hanya dapat berkembang dengan baik, bila para elit bangsa, memmpunyai kemauan yang keras dan tinggi untuk mengembangkan etika dan moralnnya. Etika dan moral yang dikembangkan oleh bangsa Indonesia adalah implementasi Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa.

d. Meningkatnya Pemahaman masyarakat pada Pancasila.
Pancasila sebagai ideologi negara, falsafah bangsa dan dasar negara, di era reformasi ini cendrung ditanggapi “sinis” oleh sekelompok masyarakat. Kondisi ini terjadi karena kurangnya pemahaman terhadap Pancasila. Disisi lain kebijakan publik yang ada, dirasakan masih banyak yang belum berpihak kepada rakyat kecil. Sebagai contoh, kebijakan penataan dan penertiban di Jakarta, dengan praktek “penggusuran”, dirasakan oleh masyarakat sebagai tindakan yang kurang mencerminkan peri kemanusiaan dan peri keadilan. Walaupun hal tersebut dilaksanakan untuk menegakkan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku, agar dikemudian hari seluruh perundang-undangan yang berlaku dapat menjadi wujuddari implementasi Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Kondisi tersebut dapat terwujud, apabila pemahaman terhadap Pancasila sudah berkembanng dikalangan masyarakat dan para penyelenggara negara.
Implementasi Pancasila yang diharapkan akan mampu memecahkan permasalahan bangsa, namun sekaligus memerlukan kondisi pendukung dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

e. Peningkatan pemahaman semua Komponen Masyarakat terhadap ideologi Pancasila.
Pemahaman merupakan suatu kondisi awal yang sangat penting agar tiap warga negara mampu mengamalkan Pancasila dengan benar. Tanpa pemahaman yang benar, maka proses berpikir, ucapan dan tindakan tiap warga negara, berkaitan dengan kepentingan pembangunan dapat menjadi salah arah, bahkan dapat mengganggu pembangunan Nasional yang pada akhirnya akan memperlemah persatruan dan kesatuan bangsa.
Kualitas pemahaman individu para penyelenggara negara diharapkan akan semakin tinggi, dengan meningkatnya tugas dan tanggung jawab ybs. dalam kegiatan kenegaraan. Pemahaman tersebut juga diharapkan meningkat, mencakup prosentase yang cukup besar untuk tingkatan Pimpinan, midealnya formal maupun informal, dan dapat dijaga kondisi pemahamannya walaupun dengan menurunnya tugas dan tanggung jawab yang bersangkutan. dalam kepentingan Pembangunan Nasional dan aktivitas kenegaraan.
Pelaksanaan P4 yang dilakukan pada masa orde baru yang lalu, terkesan dilakukan dengan pola indoktrinasi, sehingga timbul reaksi negati dari peserta P4 yang menciptakan suasana yang kurang kondusif. Mengacu pada pengalaman tersebut, maka proses peningkatan pemahaman yang direncanakan, perlu dirancang sedemikian rupa, agar terhindar dari kesan indoktrinasi.

f. Internalisasi Keyakinan atau Pembudayaan terhadap Pancasila.
Proses pemahaman Pancasila, perlu dilakukan sedemikian rupa, sampai pada tingkat dimana bukan hanyasekedar paham, namun juga tumbuhnya keyakinan pada warga negara bahwa Pancasila adalah falsafah dan nilai-dasar bangsa yang sesuai untuk bangsa Indonesia, mampu acuan arah dan pendorong pembagunan Nasional dan mampu menjadi penguat persatuan kebangsaan.
Kualitas internalisasi pada individu, diharapkan dimulai dari penerimaan atas ideologi Pancasila, kemampuan pengendalian diri, sampai pada kondisi, dimana tumbuhnya motivasi kuat untuk mengamalkannya. Tingkat keyakinan tersebut juga diharapkan dapat membangun kekuatan internal individu, sehingga individu yang bersangkutan mampu melakukan seleksi dengan benar atas pengaruh dari luar, mengambil pengaruh positif dan menolak pengaruh negatif.





PENUTUP
5. Kesimpulan.
a. Kenyataan yang berkembang di masyarakat adalah cara pandang terhadap wawasan kebangsaan yang hampir meluntur dan mencapai titik terendah pada diri anak bangsa. Ikatan nilai-nilai kebangsaan yang pernah terpatri kuat dalam kehidupan bangsa, rasa cinta tanah air, bela Negara dan semangat patriotismebangsa mulai luntur, longgar bahkan hamper sirna. Nilai budaya gotong royong, kesediaan untuk saling menghargai dan saling menghormati perbedaan serta kerelaan berkorban untuk kepentingan bangsa yang dulu melekat kuat dalam sanubari masyarakat kini semakin menipis.

b. Kini bangsa Indonesia harus kembali kepada nilai-nilai Pancasila yang sangat istimewa agar tidak terjadi disintegrasi bangsa. Terbentuknya negara yang dinamakan Indonesia tahun 1945 oleh karena kesadaran dan kesepakatan bangsa untuk mendasarkan diri kepada Pancasila. Dengan Pancasila, persatuan dan kesatuan bangsa dari Sabang sampai Meraoke tetap akan utuh dan apa yang dinamakan negara dan bangsa Indonesia akan tetap ada.

c. Apabila Pancasila, sebagai ideologi negara tidak lagi dipahami dan diimplementasikan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, maka akan dapat terjadi fenomena sebagai berikut :
1) Pembuatan peraturan perundang-undangan tidak memperhatikan keterkaitannya dangan nilai dasar Pancasila, sehinga terjadi tari menarik antar pihak yang berkepentingan sesuai organisasinya, dan tidak lagi berorientasi kepada kepentingan bangsa dan negara.
2) Masuknya subtansi budaya asing yang tidak sesuai dengan budaya bangsa kedalam berbagai aturan atau perundang-undangan nasional, tanpa memperhatikan nilai-nilai dasar Pancasila.
3) Kendornya nilai-nilai kekeluargaan, semangat gotong royong, tenggang rasa, norma susila, kesopanan dan adat istiadat bangsa..
4) Munculnya sikap primordialisme, dimana sikap ini berwawasan sempit dan isolatif serta hanya mengutamakan kepentingan asal usul kelompoknya saja, seperti dinasti, ras, suku, golongan, daerah dan agama, yang sangat bertentangan dengan Pancasila.

6. Saran.
Dalam rangka upaya menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka dibutuhkan upaya yang sungguh-sungguh agar persatuan dan kesatuan bangsa tidak mengalami disintegrasi. Dengan demikian, bangsa ini dapat mengembangkan keharmonisan dan kemandiriannya demi mencapai kemajuan bangsa, antara lain perlu implementasi kembali nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Beberapa hal yang penting diperhatikan didalam upaya implementasi Pancasila adalah, sebagai berikut:

a. Meningkatkan kewaspadaan terhadap bahaya laten terhadap Pancasila.
b. Merumuskan Kebijaksanaan Pemerintah tentang implementasi Pancasila.
c. Meningkatkan keteladanan pemimpin dalam implementasi Pancasila.
d. Meningkatnya upaya pemahaman seluruh komponen masyarakat terhadap ideologi Pancasila.
e. Meningkatkan upaya Internalisasi Keyakinan atau Pembudayaan terhadap Pancasila.





DAFTAR PUSTAKA

C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. PT. Pradnya Paramita, Jakarta 2005.
C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Modul Pancasila dan Kewarganegaraan. PT. Pradnya Paramita, Jakarta 2003.
Frans Magnis Suseno. Berebut Jiwa Bangsa. PT. Kompas Media nusantara, Jakarta 2007.
Tim Badiklat Dephan. Wawasan Kebangsaan. Badiklat, Jakarta 2006.
UUD 1945 dan Amandemennya, Fokusmedia, November 2004.
Oetoyo Usman dan Alfian. Penyunting. Pancasila sebagai ideologi dalam berbagai bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. BP-7 Pusat, Jakarta 1990.
Darji Darmodiharjo, E.S.T. Kansil, dan Nyoman Dekker. Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila. Lembaga Penerbitan Universitas Brawijaya, Malang 1979.