Rabu, 05 Mei 2010

Dimensi Kepemimpinan Aparatur dalam Perspektif Pelayanan Publik: Building the Trust

One of the public administration reform agenda is to create a
responsive and accurate public management to provide good public
service. The emergence of public dissatisfaction and disappointed
toward government leadership caused by unability of public leaders
to make a significant change in public administration practice and
better life of people. Therefore, public organisation needes visionary
leadership who are able to provide a truly citizen-centered public
service. Leaders who could build public trust to government.
Key words: Public service reform, service leadership, public trust.

Dimensi kepemimpinan telah lama menjadi kajian yang menarik terutama
terhadap keberhasilan kepemimpinan dalam suatu organisasi. Kompetensi
kepemimpinan dapat diketahui dari keberhasilan seseorang dalam
kepemimpinannya bagi pencapaian tujuan organisasi. Seorang pemimpin
aparatur dituntut harus mampu membawa organisasi publik yang
dipimpinnya memberikan pelayanan yang berkualitas.
Hudges (1992) mengatakan bahwa ”government organization are created by the
public, for the public, and need to be accountable to it.” Organisasi publik dibuat
oleh publik, untuk publik, dan karenanya harus bertanggung jawab kepada
publik. Bertumpu pada pendapat ini, pemimpin organisasi publik diwajibkan
berakuntabilitas atas kinerja yang dicapai organisasinya. Tujuan utama
organisasi publik adalah memberikan pelayanan dan mencapai tingkat
kepuasan masyarakat seoptimal mungkin.
Karakteristik manajemen pelayanan pada sektor publik sebagai suatu keseluruhan
kegiatan pengelolaan pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah, memiliki dasar hukum
yang jelas dalam penyelenggaraannya, memiliki kelompok kepentingan yang luas
termasuk kelompok sasaran yang ingin dilayani (wide stakeholders), memiliki tujuan
sosial serta akuntabel pada publik. Sejalan dengan perkembangan manajemen
penyelenggaraan negara, dan dalam upaya mewujudkan pelayanan prima, paradigma
pelayanan publik berkembang dengan fokus pengelolaan yang berorientasi pada
kepuasan pelanggan (customer-driven government) yang dicirikan dengan lebih
memfokuskan diri pada fungsi pengaturan, pemberdayaan masyarakat, serta
menerapkan sistem kompetisi dan pencapaian target yang didasarkan pada visi, misi,
tujuan dan sasaran.
Tuntutan masyarakat akan pelayanan publik yang berkualitas,
mengharuskan pembenahan dalam manajemen publik. Masih tingginya
tingkat keluhan masyarakat pengguna jasa menunjukkan bahwa pemerintah
sebagai organisasi publik masih belum sepenuhnya mampu menciptakan
sistem pelayanan yang akseptabel dimata rakyat. Hal ini sedikit banyak telah
membawa dampak menurunnya kepercayaan publik terhadap organisasi
publik. Nunik (2001) mengatakan bahwa tingkat kepercayaan masyarakat
(public trust) kepada organisasi publik mulai menurun. Lebih lanjut dikatakan
bahwa pada kebanyakan organisasi publik masih sering dijumpai fungsi
pengaturan yang lebih dominan dibanding fungsi pelayanan. Berbagai hasil
survey (termasuk pooling) juga memperlihatkan adanya kecenderungan
penurunan kepercayaan dan keyakinan publik terhadap organisasi publik.
Misalnya, survey ”Rethinking Government 2000” di Canada yang dilakukan oleh
Ekos Research Associates Inc. menemukan hanya 16% dari publik yang percaya
bahwa pemerintah membuat keputusan yang sejalan dengan kepentingan
publik. Hal ini tentu harus disikapi dengan bijaksana yaitu dengan interospeksi
dan selanjutnya melakukan perubahan dan perbaikan yang signifikan.
Untuk mewujudkan pelayanan yang berkualitas, pemerintah telah
melakukan berbagai agenda reformasi manajemen publik. Secara garis besar,
terdapat 3 (tiga) metode reformasi manajemen publik yaitu : (1) Methods to
Improve Service Delivery, (2) Methods to Increase Efficiency, dan (3) Methods to
Improve Governance. Metode ini mengisyaratkan bahwa agenda peningkatan
kualitas pelayanan publik, peningkatan efisiensi dan peningkatan governance
(dengan tiga pilarnya) selalu menjadi agenda utama dalam reformasi
manajemen publik di berbagai Negara. Di Indonesia ketiganya menjadi agenda
penting yang menjadi acuan dalam meningkatkan pelayanan publik.
Dalam melaksanakan agenda reformasi manajemen publik diatas, terdapat
dua pihak yang seharusnya dapat saling bekerja sama untuk mewujudkan
pelayanan yang berkualitas. Di satu sisi, kita menghadapi masyarakat yang
semakin kritis dan juga kondisi mereka yang terhimpit kebutuhan dan ekonomi
yang sebagian besar berada pada golongan menengah ke bawah, sehingga
tuntutan mereka ingin segera diatasi dengan cepat, tepat dan murah. Sehingga
ketika upaya reformasi manajemen publik yang dilakukan pemerintah belum
secara optimal mampu memenuhi tuntutan masyarakat tersebut, masyarakat
selalu memberikan label negatif dan terkadang berperilaku distruktif, tidak
mendukung berbagai agenda yang dicanangkan pemerintah.
Di sisi lain, kita harus mengapresiasi bahwa saat ini pemerintah terus
bergerak dan berupaya memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat.
Berbagai kebijakan, strategi dan program baik secara nasional maupun daerah
diarahkan pada agenda-agenda peningkatan kualitas pelayanan publik,
penerapan konsep efisiensi dalam sektor publik (karena masalah keterbatasan
anggaran), dan juga kolaborasi ketiga pilar good governance serta menerapan
prinsip-prinsipnya. Upaya tersebut membutuhkan waktu dan dukungan
masyarakat.
Dengan kondisi tersebut, satu tahap penting yang harus dilakukan
pemerintah pada saat ini adalah membangun kepercayaan masyarakat
terhadap kinerja pemerintah. Dalam tahap inilah kita membutuhkan suatu
kepemimpinan yang berkinerja tinggi dan mampu melakukan pendekatan
kepada masyarakat untuk mengakomodasi tuntutan kebutuhan dan
permasalahan. Salah satu indikator keberhasilan seorang pimpinan dalam
mengembangkan ‘truly citizen-centered’ adalah apakah pendekatan kepada
masyarakat yang mereka lakukan berjalan dengan efektif dan juga terjamin
kelangsungannya atau sebaliknya gagal untuk menjalin hubungan dengan
masyarakat.
A. Kepemimpinan dan Pelayanan Publik
Kepemimpinan menjadi salah satu faktor kunci dalam kehidupan
organisasi, termasuk pada sektor publik. Thoha (2004) menyatakan bahwa
suatu organisasi akan berhasil atau bahkan gagal sebagian besar ditentukan
oleh faktor kepemimpinan. Begitu pentingnya masalah kepemimpinan ini,
menjadikan pemimpin selalu menjadi fokus evaluasi mengenai penyebab
keberhasilan atau kegagalan organisasi.
Kepemimpinan (leadership) menurut Ensiklopedia Umum-Kanisius (1993),
diartikan sebagai hubungan yang erat antara seorang dan kelompok manusia
karena ada kepentingan yang sama. Hubungan itu ditandai oleh tingkah laku
yang tertuju dan terbimbing dari pemimpin dan yang dipimpin. Jadi dalam
kepemimpinan, tentu akan melibatkan unsur pemimpin (influencer) yakni
orang yang akan mempengaruhi tingkah laku pengkikutnya (influencee) dalam
situasi tertentu. Sedangkan Gibson, et. al (1992) mendefinisikan kepemimpinan
sebagai kemampuan di dalam mempengaruhi sekelompok orang untuk
bersama-sama mencapai tujuan. Pengertian yang senada juga dikemukan oleh
Chowdhury (2003) bahwa “Exercising leadership inevitably involves having
influence. One cannot lead without influencing other”. Sumber dari pengaruh bisa
berupa pengaruh formal yang telah ditetapkan secara organisasional sehingga
seorang pemimpin mampu mempengaruhi orang lain semata-mata karena
kedudukan di tingkat manajerial. Jadi kepemimpinan merupakan suatu proses
dimana seseorang mempengaruhi kebiasaan orang lain ke arah penyelesaian
tujuan yang spesifik yang mengarah kepada teaching organization untuk dapat
melatih dan mengembangkan knowledge, skill, dan attitude setiap individu
dalam organisasi.
Perkembangan konsep kepemimpinan sampai pada apa yang disebut
sebagai kepemimpinan transformasional (transformational leadership) yang
dipelopori oleh Bernard M. Bass sebagai kelanjutan studi dari J.M. Burn pada
tahun 1978. Kepemimpinan transformasional didasarkan pada perubahah nilai,
keyakinan yang dipromosikan oleh pemimpin dan kebutuhan dari
pengikut/pegawainya (Luthan, 1995). Simic (1998) dengan mengutip pendapat
Stoner menyatakan bahwa pemimpin transformasional mendorong para
pegawai untuk mengerjakan lebih dari apa yang dapat dikerjakan,
meningkatkan perasaan bahwa apa yang dikerjakan adalah penting dan
bernilai, dan menjadikan pegawai sampai pada prinsip bahwa kepentingan
organisasi yang utama.
Lebih lanjut Simic (1998) dengan mengutip pendapat Galpin
menegaskanenam cirri kepemimpinan transformasional, dua diantaranya yang
terkait erat dengan manajemen sumber daya manusia adalah menghargai
orang lain (appreciation of others) dan pengakuan (recognition). Menghargai orang
lain mengandung makna komunikasi dua arah yang juga mencerminkan
prinsip mendengarkan pegawai. Sedangkan recognation berarti pemberian
penghargaan, misalnya ucapan terima kasih kepada pegawai baik dalam
kondisi sendiri (langsung kepada pegawai yang bersangkutan) maupun dalam
suatu forum. Terkait dengan prinsip tersebut dalam rangka meningkatkan
semangat pegawai, perlu diperhatikan apa yang disarankan oleh Kenneth
Blanchard bahwa pemimpin yang baik adalah pemimpin yang berusaha
’memergoki’ bawahan pada saat mereka berprestasi dan kemudian
memberikan pujian secara tulus, bukan yang berusaha ’memergoki’ bawahan
pada saat berbuat kesalahan dan menghukumnya. Efektifitas kepemimpinan
didasarkan pada kombinasi karakteristik personal, keahlian manajerial,
perilaku, dan situasi.
Dalam perspektif pelayanan publik, pemimpin harus mampu membawa
organisasi publik memberikan pelayanan prima. Karena pada hakekatnya
dibentuknya organisasi publik adalah untuk memberikan pelayanan kepada
masyarakat. Tangkilisan (2005) mengatakan bahwa organisasii publik
dikatakan efektif apabila dalam realita pelaksanaannya birokrasi dapat
berfungsi melayani sesuai dengan kebutuhan masyarakat (client), artinya tidak
ada hambatan (sekat) yang terjadi dalam pelayanan tersebut, cepat dan tepat
dalam memerikan pelayanan, serta mampu memecahkan fenomena yang
menonjol akibat adanya perubahan sosial yang sangat cepat dari faktor
eksternal. Efektivitas organisasi publik tersebut merupakan produk dari sebuah
sistem yang salah sistem (unsur) adalah sumber daya manusia aparatur.
Sebagai bagian dari suatu sistem, meningkatnya profesionalitas sumber daya
manusia aparatur tidaklah otomatis kinerja organisasi publik akan meningkat.
Sehingga manakala sumber daya manusia aparatur telah profesional, namun
tidak didukung oleh sub-sub sistem lainnya seperti kelembagaan,
ketalaksanaan, sarana dan prasarana yang memadai, niscaya kinerja organisasi
publik yang bersangkutan tidak akan bisa mencapai tingkat kerja yang optimal.
Meskipun demikian, sumber daya manusia yang profesional menjadi faktor
diterminan dan sekaligus menjadikan sub sistem lain menjadi baik, dan pada
akhirnya kinerja organisasi publik menjadi baik pula. Berarti kesuksesan suatu
organisasi sangat tergantung pada kinerja sumber daya manusianya yaitu
para pegawai dalam berbagai strata suatu piramida organisasi, yang pada
dasarnya para pegawai tersebut bekerja membutuhkan pemimpin yang
memimpin mereka dalam bekerja. Karena itu, kepemimpinan sebagai bagian
dari sub sistem sumber daya manusia sangat menentukan berjalannya
keseluruhan sub-sub sistem yang terintegratif dan saling berkaitan menjadi
sistem yang mampu menggerakkan roda organisasi secara efektif dan efisien.
Tanpa kepemimpinan yang baik, akan sulit bagi organisasi publik untuk
mencapai tujuannya, yaitu memenuhi tuntutan pelaksanaan tugas dan
fungsinya yang strategis dalam pelayanan publik.
Menurut Goleman (2002), tugas pemimpin adalah menciptakan pada apa
yang disebutnya sebagai resonansi (resonance) yaitu suasana positif yang
mampu membuat seluruh sumber daya manusia dalam organisasi terus
mengikatkan diri (committed) dan menyumbangkan yang terbaik bagi
organisasi. Schein (1992) menyatakan bahwa pemimpin mempunyai pengaruh
yang besar terhadap keberhasilan organisasi dalam menghadapi tantangan
yang muncul.
Tuntutan akan kualitas dan kinerja kepemimpinan dalam penyelenggaraan
pemerintahan mengemuka dan terus meningkat telah menjadi patron seorang
pemimpin dan calon pemimpin di dalam membawa perubahan dalam
organisasi, serta memotivasi anggotanya untuk mencapai tujuan organisasi.
Kepemimpinan menjadi basis dalam manajemen sumber daya manusia yang
diharapkan tidak saja pada aspek operasional yaitu dalam pembentukan
kualitas kehidupan kerja tetapi juga pada aspek stratejik yang mendasari
terbentuknya kondisi kehidupan kerja tersebut.
Dari uraian di atas menunjukkan bahwa kepemimpinan mempunyai
peranan yang besar untuk memaksimalkan organisasi bekerja dalam
memberikan pelayanan yang berkualitas. Dalam kaitan ini, pengalaman dari
negara-negara di Asia menunjukkan bahwa kepemimpinan pemerintahan
menjadi kunci perubahan. Keberhasilan Malaysia dan Singapura menjadi
negara yang mampu memberikan pelayanan publik yang berkualitas terutama
karena faktor kepemimpinan.
Untuk menjelaskan hubungan antara faktor kepemimpinan dan kualitas
pelayanan publik, dapat dikemukakan pendapat Katz dan Kahn dalam Richard
M. Steer (Tangkilisan, 2005), bahwa kualitas kepemimpinan dalam berbagai
bentuk memperlihatkan perbedaan antara organisasi yang mampu mencapai
tujuan dan yang tidak. Dikatakan bahwa kepemimpinan dapat mengisi
beberapa fungsi penting yang diperlukan bagi organisasi untuk mencapai
tujuannya, seperti berikut ini :
1. Dalam fungsi mengisi kekosongan akibat ketidaklengkapan atau
ketidaksempurnaan desain organisasi. Ada banyak hal dalam aktivitas
organisasi publik yang tidak diatur dalam peraturan perundangan sebagai
dasar pembentukan organisasi publik. Karena itu tugas pemimpin adalah
mewakili organisasi publik dalam setiap kegiatan yang menyangkut tugas dan
fungsi pokok birokrasi publik. Tugas-tugas lain, baik internal maupun
eksternal, yang belum diatur dalam perundangan yang ada, menjadi tanggung
jawab pimpinan.
2. Membangun mempertahankan stabilitas organisasi dalam lingkungan
yang bergolak, dengan memungkinkan dilakukan penyesuaian dan adaptasi
yang segera pada kondisi lingkungannyang bergolak atau yang sedang
berubah. Dalam menindaklanjuti aktivitas layanan, sudah menjadi tugas
pimpinan dan para stafnya untuk melakukan persiapan diri jika mekanisme,
metode, dan teknik yang bersifat substansial maupun peraturan perundangan
yang melatarbelakanginya.
3. Membantu koordinasi intern dari unit-unit organisasi yang berbedabeda,
khususnya selama nasa pertumbuhan dan perubahan. Kepemimpinan
dapat meredam serta menjadi pemisah bagi kelompok-kelompok yang
berkomflik dalam organisasi. Tugas dan fungsi organisasi publik tidaklah
ringan, karena keberhasilan layanan sangat ditentukan oleh kualitas kerjanya.
Inilah tugas berat dari organisasi publik, karena itu dibutuhkan seorang
pimpinan yang mampu mengatasi gejolak atau konflik internal sehingga tidak
mengganggu kinerja serta prestasi organisasi publik.
4. Memainkan peranan dalam mempertahankan susunan anggota yang
stabil dengan cara pemenuhan kebutuhan anggota secara memuaskan. Untuk
mensukseskan organisasi publik dalam menjalankan tugas dan fungsinya,
pimpinan dan stafnya perlu memikirkan kesejahteraan karyawan, baik
kebutuhan fisik, spritual, maupun kepuasan-kepuasan lain yang menjadi
ukuran karyawan sendiri. Jika kondisi ini terpenuhi, tidaklah sukar bagi
organisasi publik untuk mengemban tugas yang diberikan kepadanya.
Dalam mewujudkan pelayanan prima, seorang pemimpin harus berani
melakukan perubahan. Karena itu diperlukan kepemimpinan transformasional
yaitu kepemimpinan yang mampu sebagai agen perubahan. Berbagai
perubahan mungkin mendapatkan tantangan dan hambatan, baik dari dalam
maupun luar organisasi namun seorang pemimpin transformasional harus
berani menghadapi kompleksitas, ambiguitas, dan ketidakpastian tersebut
dengan menyiapkan strategi terbaik. Perubahan-perubahan yang dapat
dilakukan seorang pemimpin untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik,
antara lain :
a. Memangkas berbagai birokrasi yang sudah tidak relevan.
b. Menerapkan contestability (membandingkan pelayanan yang dilakukan unit
organisasinya dengan organisasi lain untuk melihat efisiensi dan
efektivitasnya) bahkan mengembangkan kontrak dengan sektor swasta (jika
hal ini merupakan jalan terefektif dan terefisien yang harus ditempuh).
c. Menggunakan berbagai teknologi baru untuk meningkatkan kualitas
pelayanan publik.
d. Mengembangkan kebijakan publik yang berorientasi pada pelanggan
(customer focus)
Tuntutan akan perbaikan atas kondisi pelayanan publik dewasa ini semakin
besar dan menjadi agenda utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Seorang pemimpin harus mampu melakukan perubahan-perubahan menuju
perbaikan secara sistematis dan terukur. Namun demikian berbagai upaya
reformasi yang sifatnya lebih ’internal’ tersebut juga harus dibarengi dengan
suatu penngembangan strategi yang bersifat eksternal. Strategi ini diarahkan
pada pengembangan ’citra baik’ organisasi dan pelayanan yang diberikan oleh
organisasi publik.
B. Pelayanan Publik dan Building the Trust
Kepercayaan publik tumbuh dari pelayanan yang berkualitas. Hal tersebut
sejalan dengan pernyataan OECD (2000) bahwa pada dasarnya pelayanan
public adalah kepercayaan publik. “Public service is a public trust. Citizens expect
public servants to serve the public interest with fairness and to manage public resources
properly on a daily basis. Fair and reliable public services inspire public trust and create
a favourable environment for businesses, thus contributing to well-functioning markets
and economic growth,” Dengan demikian, kualitas pelayanan publik merupakan
salah satu strategic issue bagi aparatur negara yang harus diaktualisasikan
dalam kerangka membangun kepercacayaan public.
Dalam upaya perwujudan hal-hal tersebut, pemimpin merupakan faktor
yang signifikan. Peran pemimpin dalam membangun kepercayaan publik
mencakup lingkup internal yang berkaitan dengan upaya menggerakkan dan
memastikan seluruh sumberdaya aparatur berkinerja tinggi, dan lingkup
eksternal organisasi dalam upaya mencermati harapan masyarakat dan
komunikasi eksternal baik menyangkut ukuran-ukuran kinerja pelayanan
(public service measures) yang ditetapkan, upaya yang telah, sedang dan akan
dilakukan, maupun kinerja pelayanan yang telah dihasilkan.
Pemimpin yang cerdas bukanlah suatu jaminan untuk memimpin suatu
organisasii yang efektif dan efisien, karena seorang pemimpin selain memiliki
pengetahuan dan keterampilan untuk memimpin juga dituntut berperilaku
sebagai panutan bagi bawahannya (building the trust). Arie de Geus
mengemukan bahwa organisasi yang bisa bertahan lebih dari seratus tahun dan
menunjukkan prestasi yang outstanding adalah organisasi yang dipimpin oleh
pemimpin yang teach by example (dalam Nugroho D, 2003).
Dalam konteks organisasi publik, kepemimpinan lebih merupakan
‘kepemimpinan formal’ dalam arti pemimpin merupakan orang yang diangkat
dan dikukuhkan untuk menduduki jabatan tertentu. Pada kondisi demikian,
akuntabilitas (accountability) menjadi penting sebagai bentuk
pertanggungjawaban atas kedudukan dan kepemimpinan dan
‘pertanggungjawaban sosial’. Akuntabilitas di atas mengandung makna
keharusan/kemampuan untuk menjelaskan dan menjawab segala hal yang
menyangkut langkah dan proses yang dilakukan serta
mempertanggungjawabkan atas kinerjanya.
Dalam rangka mewujudkan kinerja maksimal, kepemimpinan aparatur
harus mendasarkan pada kredibilitas yang dibentuk atas dasar profesionalitas
dan kejujuran. Kejujuran dalam kepemimpinan merupakan akar dan modal
dari terhindarnya tindakan-tindakan yang bertentangan dengan norma-norma
kehidupan sosial dan bernegara, baik yang dilakukan oleh para pemimpin itu
sendiri maupun para pengikutnya.
Dalam membangun hubungan, seorang pemimpin perlu menumbuhkan
karakteristik dan atribut-atribut yang meliputi ( Kuczmarski dan Kuczmarski,
1995): (1) Listens actively; (2) Emphatic; (3) Attitudes are positive and optimistic; (4)
Delivers on Promises and commitment; (5) Energy level high; (6) Recognizes selfdoubts
and vulnerability; dan (7) Sensitivity to others, values, and potential.
Kepemimpinan merupakan fenomena sosial, yang berarti bahwa praktek
kepemimpinan dipengaruhi nilai-nilai (value-driven). Dalam pelayanan publik,
nilai-nilai yang mendasari seorang pemimpin transformasional bertindak
adalah customer satisfaction dan perjuangan pada nilai sosial yang menjadi
tanggung jawab negara. Sebagai konsekuensinya, pengembangan berbagai
sistem pelayanan publik diarahkan pada pemberian pelayanan yang mudah,
murah, tepat dan sederhana. Dampak dari fenomena sosial tidak hanya pada
nilai yang dianut, namun juga seorang pemimpin yang transformasional
haruslah percaya kepada orang lain dan berani memberikan tantangan dan tanggung
jawab pada orang lain (empowerment). Seorang pemimpin harus mampu
menumbuhkan kreativitas dan tidak mematikan berbagai strategi yang
dikembangkan bawahan berdasarkan kompetensi teknis yang mereka kuasai.
Dalam pelayanan publik masih sering dijumpai, seorang pelayan publik
(birokrat) belum mampu melaksanakan tugasnya sebagai pelayan masyarakat.
Birokrasi masih sering memiliki beberapa karakter yang menyebabkan
masyarakat sering alergi bila berurusan dengan birokrasi (Sondang P. Siagian,
1994), yakni :
1. Apathy (apatis), yaitu bersikap acuh tak acuh terhadap pengguna jasa.
Para aparat/birokrasi sering memandang bahwa masyarakat sebagai pihak
yang membutuhkan maka merekalah yang harus mengikuti keinginan birokrat.
2. Brush off (menolak berurusan), yaitu berusaha agar pembutuh jasa tidak
berurusan dengannya misalnyadengan cara mengulur waktu dan membiarkan
menunggu dalam jangka waktu yang lama.
3. Coldness (dingin), yaitu kurangnya keramahan dalam memberikan
pelayanan.
4. Condescension (memandang rendah), yaitu memperlakukan pembutuh
jasa sebagai orang yang tida tahu apa-apa sehingga penyelesaian urusan
menurut keinginan aparatur.
5. Robotism (bekerja mekanis), yaitu bekerja secara mekanis dan
memperlakukan pembutuh jasa dengan perilaku dan tutur kata yang sama dan
monoton.
6. Role Book (ketat pada prosedur), yaitu ketat pada prosedur dan
meletakkan peraturan di atas kepuasan pembutuh jasa.
7. Rondaround (pingpong/saling lempar tanggung jawab), yaitu untuk
menyelesaikan suatu urusan, masyarakat pengguna jasa harus menghubungi
pelbagai pihak yang saling lempar tanggung jawab.
Dalam fenomena sosial, perilaku tersebut menyebabkan masyarakat sering
‘enggan’ bila berurusan dengan birokrasi. Keberadaan karakteristik tersebut
menyebabkan munculnya beberapa implikasi negative seperti dari aspek politis,
terjadi penurunan tingkat kepercayaan dan dukungan masyarakat terhadap
aparat pemerintah; dari aspek finansial, dapat menurunkan pendapatan Negara
karena masyarakat tidak termotivasi untuk taat dan patuh pada kebijakan
pemerintah.
25
Penyelesaian masalah pelayanan publik sangat membutuhkan kerjasama
yang baik antara pemimpin, personal dalam organisasi, masyarakat (client), dan
sektor swasta. Dengan kerja sama yang baik masalah pelayanan publik akan
menjadi ringan jika. semua membuka diri untuk saling menyumpangkan
pemikiran, resources, dan dukungan. Langkah yang dapat ditempuh seorang
pemimpin dalam menggerakkan organisasi untuk menciptakan pelayanan
prima antara lain :
1. Mengembangkan call centers dalam berbagai pelayanan yang diberikan
organisasi publik.
2. Resource sharing atau melibatkan sektor swasta dalam penyediaan
pelayanan publik. Bahkan bagi pemerintah daerah dapat mengembangakan
satu sistem kerja sama dengan daerah terdekat untuk mencapai efektivitas dan
efisiensi dalam satu jenis (atau beberapa) pelayanan kepada publik.
3. Konsultasi publik (citizen consultation) dalam mengembangan sistem atau
kebijakan yang berkaitan dengan pelayanan publik
Meskipun disebutkan di atas bahwa salah satu kompetensi seorang
pemimpin adalah bisa mempengaruhi, namun bukan pengaruh yang bersifat
‘çoercive’ atau pemaksaan. Pengaruh yang dimaksud adalah pengaruh yang
mengandung konsekuensi/keuntungan bagi organisasi dan stakeholdernya.
Pengaruh yang bersifat ‘sukarela’ sangat penting untuk dilakukan dengan
keuntungan antara lain:
1. Meningkatkan kapasitas transaksional yang akhirnya tercipta truly
citizen-centered. Jika masyarakat percaya maka mereka akan berpartisipasi aktif
terhadap berbagai kegiatan pemerintan. Hubungan yang bersifat ‘mutualisme’
ini akan berdampak positif pada kinerja pemerintah dan partisipasi
masyarakat, pemerintah memfokuskan kegiatannya pada tuntutan dan
permasalahan public dan masyarakat memberika dukungan (financial dan
moril) akan kegiatan tersebut.
2. Pemerintah yang dapat diandalkan dan dapat dipercaya dapat
membangun populasi/masyarakat yang saling ‘memperhatikan (care)’. Atau
dengan kata lain menginformasikan permasalahan yang dihadapi pada jalur
resmi pemerintah sehingga tidak gampang dimanipulasi dan dimanfaatkan
pihak lain.
Untuk mendapatkan suatu pengaruh yang ’positif’ dari kepercayaaan
masyarakat bukanlah hal yang mudah. Apalagi kita masih menghadapi
persoalan yang berkaitan dengan kebutuhan dasar masyarakat. Beberapa
catatan perubahan persepsi yang harus dilakukan organisasi publik untuk
mendapatkan kepercayaan atau ‘trust’ dari masyarakat antara lain
1. Menghilangkan persepsi bahwa kualitas pelayanan publik selalu kalah
dan di bawah kualitas pelayanan sektor swasta. Cara yang dapat ditempuh
adalah dengan mengenalkan suatu pelayanan yang melebihi standard
pelayanan yang dilakukan swasta. Atau dengan mempublikasikan ‘prestasi’
/pelayanan terbaik yang dilakukan pemerintah. Strategi ini penting untuk
menunjukkan bahwa ada pelayanan publik yang berhasil dan sukses, karena
26
yang biasa kita dengar adalah cerita kegagalan pelayanan public dalam
memberikan pelayanan terbaik.
2. Menempatkan organisasi pemerintah untuk selalu berada pada titik
kritis kesuksesan pelayanan. Salah satu masalah umum dalam pelayanan
publik adalah kelangsungan suatu kinerja pelayanan. Organisasi publik sering
‘terlalu cepat puas’dengan kinerjanya sehingga ‘lupa’ untuk menjaga kualitas
terbaiknya. Terkadang dengan alasan proyek, suatu pelayanan di disain
dengan kualitas terbaik, namun untuk memelihara kualitas tersebut ungkapan
tidak ada dana, mereka tidak mampu menjaga dan menyesuaikan pelayanan
dengan perubahan lingkungan yang sangat cepat.
3. Menciptakan Operasi Baru dalam Pelayanan Publik. Strategi ini sangat
penting untuk mengantisipasi perubahan tuntutan masyarakat sesuai dengan
perkembangan global. Termasuk dalam strategi ini adalah pembenahan
struktur internal organisasi publik dan proses pemberian pelayanan kepada
masyarakat.
4. Menerapkan Four Proactive Tactics. For proactive tactics meliputi the
stick, the carrot, marketing pull dan high-touch push. Strategi ini digunakan untuk
menumbuhkan motivasi dalam organisasi untuk mengadopsi strategi
pelayanan yang dipakai organisasi.
Sebagai catatan dalam pelaksanaan adopsi strategi pelayanan kita perlu
memperhatikan pentingnya diskresi pada level aparatur yang langsung
berhubungan dengan masyarakat (street level bureaucrac), namun perlu dibatasi
dengan norma-norma sehingga diskresi ini menjadi diskresi yang bertanggung
jawab. Dalam melakukan melakukan berbagai strategi peningkatan pelayanan
seperti tersebut di atas seorang pemimpin harus meluaskan perspektif mereka
tentang makna pelayanan publik. Untuk itu diperlukan kepemimpinan yang
mampu membangun visi bersama (shared-vision). Berikut adalah beberapa
karakteristik pimpinan visioner dalam pelayanan publik
1. Selalu tidak puas, seorang pemimpin yang visioner adalah seorang
pemimpin yang selalu memiliki keinginan untuk melakukan peningkatan.
Seorang pemimpin yang mempertahankan metode lama sama dengan berjalan
ke belakang karena metode tersebut belum tentu sesuai dengan lingkungan
yang selalu berubah.
2. Mampu menciptakan standard terbaik menurut visinya, untuk
mendapatkan kinerja terbaik seorang pemimpin public harus mengembangkan
suatu visi stratejik dalam bidang pelayanan yang mencerminkan budaya,
aspirasi dan nilai-nilai dalam organisasi.
3. Mampu mengorganisir pelaksanaan pelayanan secara efektif, seorang
pemimpin yang visioner mengetahui bahwa sebuah kebijakan dikatakan ketika
kebijakan tersebut dapat dilaksanakan dan mencapai tujuan yang diinginkan.
Pengorganisasian ini berarti bahwa pemimpin harus mampu menggerakkan
secara top-down dan juga struktur organisasi secara horizontal dengan baik.
27
4. Mampu memperkuat hubungan dengan masyarakat, dengan
menggunakan teknologi terbaru untuk memaksimalkan pelayanan secara
online.
5. Memiliki keinginan kuat untuk selalu belajar,baik dari keberhasilan
organisasi lain dalam pelayanan maupun belajar dari kesalahan yang mereka
lakukan.
6. Mampu menciptakan transparansi dan akuntabilitas dalam pelayanan,
termasuk akuntabilitas dan transparansi yang bersifat multiple governmental
organizations.
Karakteristik tersebut merupakan dasar dan sarana dalam membangun
hubungan yang baik dan menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap
pelayanan yang diberikan oleh sektor publik. Atas dasar kredibilitas yang
berakar pada kejujuran, komitmen yang tinggi, dan semangat pengabdian
dalam menjalankan berbagai peran kepemimpinan, diharapkan kepemimpinan
aparatur dapat mewujudkan kinerja yang maksimal dalam mengwujudkan
pelayanan prima. Kita berharap semoga citra pelayanan publik yang selama ini
sering dinilai negatif dapat berubah menjadi lebih baik.
C. Kesimpulan
Kunci kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah adalah terletak pada
kepuasan masyarakat terhadap kualitas pelayanan yang diberikan. Karena itu,
tuntutan terhadap kualitas pelayanan prima merupakan hal yang harus
diupayakan. Perwujudan pelayanan yang berkualitas dapat dilalukan melalui
perubahan visi dan orientasi pelayanan yang lebih berfokus kepada
kepentingan pelanggan. Selain itu, organisasi publik harus memperhatikan
prinsip kerjasama dan partisipasi pegawai didalam organisasi, serta harus
senantiasa melakukan perbaikan secara terus menerus.
Pemimpim dalam berbagai strata piramida suatu organisasi publik harus
memberikan dukungan dan komitmennya kepada bawahan yang selalu
mengabdi atau berdedikasi dalam pemberian pelayanan publik dan dukungan
serta komitmennya kepada para pengguna atau penerima pelayanan publik.
Selain itu. dalam pelayanan publik diperlukan norma antara lain tentang
kebenaran, pemenuhan janji kepada publik, dan adil dalam memberikan
pelayanan.

Penulis :
Prof. A. Aziz Sanapiah, MPA adalah Guru Besar Tetap STIA LAN Jakarta dan
Ketua Jurusan Administrasi Bisnis STIA LAN Jakarta.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Pemerintahan di Majene Mungkin akan lebih baik jika teori anda diterapkan :)

Posting Komentar