Kamis, 24 Maret 2011

MEMBANGUN GENERASI BERKARAKTER LEWAT PENDIDIKAN

Problem besar yang melanda bangsa kita dewasa ini menjadi catatan kelam yang akan menjadi sejarah dan contoh buruk bagi anak cucu kita kelak. Persoalan korupsi, mafia peradilan dan mafia pajak, kolusi, nepotisme, runtuhnya kewibawaan pemerintah baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, kerusuhan berlatar SARA dan berbagai persoalan lain yang membelit bangsa ini bukan hanya merupakan implikasi dari buruknya sistem dalam ketatanegaraan kita, tetapi lebih dari itu, preseden buruk ini menjadi gambaran makro kegagalan bangsa kita membangun peradaban yang lebih berkarakter dan bermartabat. Pemerintah kita cenderung mengabaikan kondisi riil di masyarakat dan bangga dengan kalkulasi keberhasilan pembangunan (baca;pertumbuhan) berdasarkan angka-angka dan perhitungan matematis serta jempol dari negara-negara barat yang justru melenakan. Kepentingan asing yang merajai berbagai sendi kehidupan berbangsa dan bernegara kita, bukanlah hal yang tidak disadari oleh pemerintah. Tetapi karena kebergantungan kita kepada pihak asing telah membuat bangsa ini menjadi bangsa yang merdeka secara de jure tetapi terjajah dalam konteks de facto. Pun sistem penegakan hukum kita carut marut oleh berbagai jaringan kepentingan yang berlindung dibawahnya. Penegakan hukum menjadi cenderung tebang pilih, menunggu moment dan kadang menjadi ajang barter bagi kalangan elit kekuasaan.

Berbagai seminar, symposium, dan dialog-dialog ilmiah lainnya telah dicoba dilakukan untuk mengatasi persoalan-persoalan bangsa diatas. Namun banyak pula dialog yang menghadirkan para petinggi-petinggi kita yang berbicara namun bukannya menyelesaikan masalah justru semakin memperlebar borok yang tak kunjung sembuh tersebut. Konflik kepentingan para elit pun menjadi merebak sehingga mereka tidak lagi berbicara atas nama kepentingan rakyat secara umum, tetapi lebih pada kepentingan pribadi dan golongan. Lihat saja sandiwara yang dipertontonkan para wakil kita di Senayan. Setiap menyelesaikan persoalan bangsa sepertinya harus selalu melalui mekanisme voting atas nama demokrasi, dan pada saat hasilnya diumumkan, fraksi yang menjadi pemenang akan menyuarakan “ini adalah kemenangan rakyat, ini adalah kemenangan pihak yang benar, dan sebagainya dan sebagainya.....”. Lalu pertanyaannya, fraksi yang berada pada posisi kalah, itu kekalahan siapa?.

Pertanyaan tersebut tak perlu dijawab, tetapi mari kita lebih menatap jauh kedepan. Ketimbang saling menyalahkan lebih baik kita meninjau bagaimana peran pendidikan menjadi suatu “organ vital” yang mampu menjawab berbagai persoalan bangsa tersebut. Pendidikan menjadi alternatif yang bersifat preventif, karena dengan pendidikan kita dapat membangun generasi baru yang lebih baik. Pendidikan yang diharapkan tentunya bersifat lebih humanis, mendorong semangat kemandirian serta mengembangkan karakter bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai luhur bangsa yang bersumber dari nilai agama dan budaya. Walaupun output yang dihasilkan tidak serta merta menunjukkan hasil yang instan dan tidak bersifat menyelesaikan persoalan secara otomatis seperti yang diharapkan, namun setidaknya lewat rekayasa sosialnya, pendidikan dapat menjadi upaya mencegah merebaknya gejala-gejala kegagalan bangsa seperti yang mengemuka dewasa ini.

Pemerintah, lewat Kementerian Pendidikan Nasional telah mengupayakan berbagai terobosan guna mendukung upaya pengembangan pendidikan yang berorientasi pada penanaman pendidikan budaya dan karakter bangsa. Menyambut upaya itu, ada baiknya saya akan mengulas sedikit tentang persoalan karakter tersebut. Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak dalam interaksi sosial. Kebajikan yang dimaksud terdiri atas sejumlah nilai, moral, dan norma, seperti kejujuran, keberanian bertindak, kepercayaan, dan saling menghormati kepada sesama serta prilaku lainnya yang telah melekat sebagai bentuk kebajikan sosial yang disepakati secara kultural dalam masyarakat.

Interaksi seseorang dengan orang lain menumbuhkan karakter masyarakat dan karakter bangsa. Oleh karena itu, pengembangan karakter bangsa hanya dapat dilakukan melalui pengembangan karakter individu seseorang, dan upaya tersebut tentu melalui proses pendewasaan melalui pendidikan. Akan tetapi, karena manusia hidup dalam lingkungan sosial dan budaya tertentu, maka pengembangan karakter individu seseorang hanya dapat dilakukan dalam lingkungan sosial dan budaya yang bersangkutan. Artinya, pengembangan budaya dan karakter bangsa hanya dapat dilakukan dalam suatu proses pendidikan yang tidak melepaskan peserta didik dari lingkungan sosial, budaya masyarakat, dan budaya bangsa.

Dalam konteks Sulawesi Barat, adalah propinsi yang sedang bertumbuh namun telah memiliki segudang keragaman kearifan lokal yang bersumber dari akulturasi budaya, suku, ras dan agama yang berkembang di masyarakat. Banyak kalangan yang menilai bahwa sebagian besar kearifan lokal budaya Sulawesi Barat yang dikenal dengan budaya Mandar dipengaruhi secara signifikan oleh nilai-nilai agama. Demikian pula sebaliknya, banyak ritual-ritual yang bersumber dari kebudayaan setempat yang kemudian menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari seremoni keagamaan yang berlaku di masyarakat. Hal ini disebabkan oleh masih kentalnya nuansa kebudayaan serta pengamalan ajaran agama yang mempengaruhi pola kehidupan masyarakat. Beberapa hal dapat dijadikan rujukan dalam mengembangkan pendidikan budaya dan karakter bangsa seperti budaya gotong-royong, sipakala’bi, sipakaraya, dan sipakatau, serta beberapa acara-acara seremonial keagamaan seperti perayaan maulid, to messawe totammaq, dan sebagainya.

Penanaman konsep-konsep budaya dan karakter bangsa melalui pendidikan mulai diintegrasikan dalam proses pendidikan di sekolah sejak terbitnya Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Hal itu didasari oleh tujuan nasional pendidikan kita bahwa Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis dan bertanggung jawab.

Walaupun penerapan konsep itu sudah menjadi bagian integral dari sekolah atau lembaga pendidikan secara umum, namun penerapan konsep tersebut secara sistimatis, terencana, dan melembaga belum menjadi titik tekan yang dikedepankan dalam dunia pendidikan kita hari ini. Penilaian output pendidikan yang masih mengandalkan akumulasi nilai-nilai berdasarkan kemampuan kognitif masih menjadi kendala yang menyumbang terjadinya kepincangan dalam dunia pendidikan kita. Alih-alih membangun karakter, justru saat ini tenaga pendidik disibukkan dengan pengajaran untuk mengejar pencapaian target dan standar kelulusan yang juga masih mengandalkan kemampuan kognitif.

Oleh karena itu, sebagai stakeholder pendidikan dan dengan semangat otonomi, pemerintah, masyarakat dan para praktisi pendidikan harus merekayasa sebuah sistem pendidikan yang bertitik tolak pada pengembangan budaya dan karakter bangsa dan karakter lokal. Pemerintah Daerah harus merumuskan kebijakan sistem pendidikan yang menyeluruh dan terpadu, menyentuh berbagai lini, menggali potensi-potensi budaya dan karakter lokal, dan yang terpenting tidak hanya mengandalkan urusan pendidikan pada satu dinas tertentu seperti Dinas Pendidikan tetapi menerapkan pola pengembangan pendidikan pada semua sektor dalam pemerintahan maupun kemasyarakatan. Dalam konteks satuan pendidikan, setiap lembaga pendidikan harus menciptakan lembaga pendidikan yang mandiri yang mendorong terselenggaranya pengembangan karakter anak didik lewat penerapan kurikulum yang memuat berbagai kegiatan yang erat kaitannya dengan penanaman budaya dan karakter, baik yang bersifat kebangsaan maupun berciri lokal bagi siswa. Dan dalam konteks masyarakat, setiap individu dalam masyarakat harus memiliki kesadaran pribadi untuk bahu membahu bersama-sama menciptakan iklim lingkungan sosial yang saling mencerahkan, bernuansa pendidikan, serta suasana kondusif dan nyaman bagi terselenggaranya kehidupan kemasyarakatan yang lebih berkualitas.

Dan pada akhirnya, kita harus kembali pada komitmen awal bahwa pendidikan bagi generasi bukanlah tanggung jawab kelompok tertentu dan yang lainnya tidak memiliki andil apa-apa. Semua pihak memiliki peran dan tanggung jawab yang sama dan harus sinergi dalam mendorong terciptanya suasana belajar dan suasana pendidikan untuk membangun peradaban bangsa yang lebih kuat, berkarakter dan lebih bermartabat. Oleh karena itu, tidak adanya sebuah sistem yang mengatur secara baik, maka problem pendidikan kita tidak hanya akan menjadi pemicu kegagalan pembangunan, tetapi juga memicu hilangnya jati diri bangsa yang pada akhirnya berujung pada hilangnya kedaulatan kita sebagai bangsa dan negara merdeka.

KEMBALIKAN SUBSTANSI PEMILUKADA

Suhu kompetisi menuju kursi 01 pada pemilukada Majene semakin hot saja. Menjelang perhelatan demokrasi yang akan digelar 12 Mei mendatang, sejumlah kontestan yang sudah ter-add di KPU semakin gencar melakukan sosialisasi dan konsolidasi. Berbagai upaya untuk menarik simpul massa dan dukungan dilakukan mulai dari wilayah “kumuh perkotaan” hingga wilayah “modern pedesaan” yang terpencil sekalipun. Saling klaim area sebagai basis massa loyalis juga semakin gencar. Hampir setiap jengkal area di wilayah Majene sudah bukan lagi “milik” rakyat tetapi berubah menjadi kawasan properti para kontestan.
Pada level grass root, iklim perburuan juga semakin memanas. Aksi saling mengintip bak spionase, caracter assasinations, sampai catat-mencatat lawan yang berpotensi merusak konsentrasi massa loyalis juga dilakukan. Berbagai isu baik dari mulut ke mulut hingga short message service (sms) bermuatan fitnah yang tidak jelas juga ngalor-ngidul dan bias kemana-mana. Ancaman-ancaman dan intimidasi yang dilakukan oleh para tim sukses “bayangan” juga semakin marak dan mulai dipertontonkan secara vulgar. Laporan-laporan yang entah benar atau palsu dilayangkan kepada petinggi-petinggi di pemerintahan juga semakin santer dan sudah jadi “awam secret”. Anehnya (atau tidak aneh sama sekali), itu justru dilakukan oleh oknum-oknum yang dulunya adalah kawan, sahabat, kolega, bahkan keluarga. Tradisi diskriminatif, menjegal kawan sendiri, menggunting dalam lipatan, sikut kanan sikut kiri seakan menjadi keadaan yang lazim dan sah-sah saja dilakukan. Tidak perduli siapa, golongannya apa, asal bisa mendapatkan posisi yang lebih baik, kawan pun bisa dikorbankan. Para tim sukses pun tidak lagi konsentrasi untuk mencatat aspirasi rakyat, tetapi lebih konsentrasi untuk mengidentifikasi orang-orang yang akan “dijegal” dan “dimatikan” potensinya jika mereka menang dalam perburuan kekuasaan.
Fenomena ini semakin menelanjangi asumsi bahwa pada dasarnya masyarakat dan elit-elit kita belum memiliki kedewasaan yang cukup dalam berdemokrasi. Dan parahnya lagi, itu justru dilakonkan oleh para elit politik yang seharusnya menjadi garda terdepan untuk menyuarakan politik yang bersih, elegan dan santun. Pengkotak-kotakan dalam masyarakat yang dapat berujung pada kisruh sosial semakin menggejala justru dibiarkan dan tidak diminimalisir. Masyarakat dibiasakan untuk tidak kompromi pada perbedaan pendapat dan pilihan. Akibatnya, masyarakat menjadi terbiasa dengan karakter kompetisi hidup yang tidak sehat, mengabaikan kegotong-royongan dan terkungkung dalam kubangan ideologi individualistik.
Guru Besar Fakultas Hukum Unhas, Prof. Aswanto pernah menyatakan bahwa “Pemilukada adalah sarana demokrasi untuk menentukan pimpinan daerah, bukan sarana untuk menciptakan konflik,bukan sarana untuk mengkotak-kotakan masyarakat, dan bukan sarana untuk membagi-bagi kekuasaan atau jabatan”.
Apa yang dikemukakan diatas merupakan sebuah “warning” yang jelas bagi kita semua. Terlebih lagi bagi pihak-pihak yang terlibat secara langsung dalam perhelatan demokrasi tersebut. Susunan frasa yang dikemukakan Prof. Aswanto diatas bukanlah asumsi tanpa dasar dan analisa yang tidak kuat. Ada fakta-fakta yang menyeruak kepermukaan bahwa sebagian besar pemilukada tidak lagi menjadi ukuran legitimasi yang tepat dalam menentukan pemimpin terpilih adalah yang terbaik bagi suatu daerah. Indikasinya terdapat pada adanya berbagai pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh para kontestan baik pra pemilihan, proses pemilihan hingga pasca pemilihan. Fakta-fakta seperti merebaknya money politic, penggelembungan suara, intimidasi terhadap masyarakat sipil dan PNS, janji-janji promosi dan penempatan para pejabat daerah yang tidak mempertimbangkan asas kapabilitas dan kompetensi, serta pembagian jatah kekuasaan yang tidak proporsional menjadi ekses negatif yang mewarnai hampir sebagian besar pemilukada yang terjadi di Indonesia. Akibatnya, pemilukada tidak lagi menjadi ajang seleksi pemimpin yang berkualitas, tetapi menjadi lahan empuk bagi para penjilat dan yang siap dijilat untuk melakukan aksi “jilat-jilatan”.
Melihat kondisi ini, why not? jika kemudian rakyat menjadi apatis. Ada yang berpandangan ingin “golput” saja, tapi ada pula yang berpandangan, daripada tidak dapat apa-apa lebih baik berdiri pada sisi oportunis. Siapa yang kasih “fulus” dengan digit yang lebih mentereng, itu yang menjadi pilihannya. Yang lebih ekstrim lagi, ada yang berkelakar, sebaiknya KPU tidak usah menggelar pemilukada tapi cukup mengundi saja para kontestan yang berlaga.
Mengingat semakin kasifnya waktu ke hari H pemilihan, ada baiknya mulai sekarang para kontestan memformat ulang metode pendekatan mereka kepada masyarakat. Para kontestan tidak perlu merasa was-was. Jika semua kontestan komitmen untuk menggunakan strategi yang lebih santun dalam berpolitik, maka implikasi kebaikan tidak hanya didapatkan pada momen pemilukada saja, tapi kedepannya akan semakin meminimalisir dampak negatif yang timbul dalam masyarakat. Pun kepada masyarakat, tidak perlu terlalu sentimentil mendengar manisnya rayuan para kontestan, tetapi analisa secara realistis dan mendalam untuk menentukan pinangan adalah ikhtiar solusi yang lebih baik. Majene adalah daerah miskin PAD, maka gantungkanlah harapan pada calon pemimpin yang menjanjikan dan mengajak ke masa depan dengan konsep-konsep yang realistis, bukan program-program bombastis yang justru mengaburkan aspek rasionalitas. Bukan pula mereka yang menjanjikan mimpi-mimpi kesejahteraan, tanpa program-program yang tepat dan tersistimatis. Pun pada mereka yang menjanjikan perubahan, perubahan adalah sunnatullah dan pasti terjadi. Tidak ada seorangpun yang bisa mengklaim bahwa kata perubahan hanya milik golongannya saja dan yang lain pro status quo. Yang mendesak saat ini adalah siapa aktor yang akan membawa perubahan Majene ke depan, bukan hanya jargon tanpa konsep. Ibarat mengobati orang yang sakit, tanpa dokter dan resep yang tepat mustahil akan mendapatkan kesembuhan, justru akan melahirkan komplikasi terhadap penyakit yang lain.
Pada akhirnya semua diserahkan pada pilihan dalam bilik 50 x 50 cm itu. Gunakan pertimbangan nurani dan akal sehat dalam memilih. Dengan demikian akan lahir analogi yang tepat sebagai “suara rakyat adalah suara Tuhan” bukan “suara rakyat adalah suara uang”. Dan yang terpenting, untuk yang sekedar iseng-iseng, tidak usah memaksakan diri untuk berusaha terlibat jauh dalam intrik-intrik politik yang tidak sehat, tetapi mari membudayakan politik yang santun dan saling menghargai satu sama lain serta mengembalikan perhelatan pemilukada pada substansinya.